Banyubiru (23)
Aku masih ingat bagaimana senangnya MJ ketika datang ke upacara wisudaku. Dia tertawa girang sekali di samping Ravi. Insiden dirinya yang mengirimkan undangan ke rumahku tidak berjalan baik, dan aku sudah memaafkannya. Untuk itu ia tak henti menitikkan air mata.
Aroma wangi dari buket bunga raksasanya saja masih memenuhi kamarku. Aku masih bisa mengeja nada bangganya ketika bilang kalau ia merangkainya sendiri dan membuatnya khusus untukku.
Sayangnya, siang itu tidak berakhir dengan baik hingga karangan bunga istimewa itu hanya berakhir asal-asalan di dalam toples plastik berisi air, tanpa aku tahu bagaimana memperlakukannya agar sedikit lebih awet.
MJ menghilang sejak siang itu. Aku tidak tahu apa yang membuatnya begitu marah atau kecewa hingga ia tak pernah menjawab teleponku lagi. Pesan-pesan dariku hanya dibaca dan tidak dibalas. Hanya Ravi yang masih bisa mengubunginya sekali dua kali. Itu pun ketika ditanya kenapa, ia akan menghindar dan menghilang begitu saja.
Aku rindu saat dimana ia mengeluh dan memberantaki kontrakan kami ketika ia sedang suntuk.
***
"Je! MJ!" Aku buru-buru meninggalkan Jenna, berlari saat melihat MJ di parkiran dekat kantin kampus. MJ melihatku dan malah berjalan terburu menuju area parkir.
Hari ini aku ke kampus untuk menemui Mas Fariz. Selepas kelulusanku, Mas Fariz menawariku untuk bekerja di usaha percetakan yang dirintis istrinya. Untuk itu aku masih sering menemui Mas Fariz di kampus, yang mana selalu disamakan jadwalnya dengan bimbingan KTI Jenna. Itu sebabnya kami jadi sering bersama.
"Je! Tungguin, dong!" MJ sudah ada di hadapanku, tapi ia malah mulai berlari. Bisa kulihat ekspresi tak enaknya ketika menghindariku, meskipun rambut panjang lurusnya tertiup angin kesana-kemari.
"Je! Hey... Hey!" aku menangkap lengannya. MJ sekilas meronta, tapi aku menggenggamnya cukup kuat. MJ hanya meringis sambil menunduk, sembunyi diantara rambutnya. Ia mungkin merasa risih karena adegan sinetron tadi jadi bahan tontonan orang.
Tapi aku tidak peduli. MJ sudah menghindar terlalu lama, dan kali ini aku tidak akan melepaskannya.
"Apaan, sih, Nyu... Malu tau diliatin orang!"
"Lo yang apaan. Kemana aja, sih? Kenapa telepon gue nggak pernah diangkat? Chat juga di-read doang..."
MJ mendongak sekilas. Masih sesekali melirik ke kiri dan kanan, tapi tak kunjung menjawab pertanyaanku. Aku mulai merasa sangat salah karena hanya aku yang ia hindari, bukan Ravi atau siapa pun.
"Hey... Gue ada salah sama lo? Bilang... Gue nggak bakal paham kalo lo nggak bilang, Je..."
MJ menghela napas sejenak. Tangannya menggapai tanganku dan melepaskannya dari genggamanku. Aku menurut saja ketika melihat gelagatnya sudah melunak. Mungkin ia ingin mengatakan alasannya karena kulihat ia mulai memikirkan kata-kata yang harus diungkapkan padaku.
Tapi saat ia baru membuka mulut, Jenna yang tadi kutinggal di belakang, memanggilku.
"Banyu?"
Saat itulah aku ingat ekspresi MJ ketika melarikan diri dari Hall Kampus, siang setelah acara wisuda selesai. Air mukanya sama persis, ketika ia berteriak, "Ah, udahlah, bukan salah lo juga! Dah, sana! Lo udah ada yang nungguin, noh!"
"Je?!"
MJ pergi lagi. Terburu-buru. Kali ini, aku melihat aura tak ingin dikejar, maka aku diam di tempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romansa"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...