Aku tidak tahu kekuatan malam hari bisa sedahsyat ini merombak, mengaduk, mengungkap segala aturan, tatanan, dan rahasia yang baik-baik saja di bawah sinar matahari. Tak butuh dua jam sejak sampainya kami di Pacitan, aku ingin menyesali keputusanku bergabung dengan anak-anak Mapala. Tapi ketika malam tiba, semua yang coba aku sembunyikan tumpah ruah seperti ombak-ombak yang tanpa henti memukul tepian karang.
It's not you, Sandar!
Ini sama sekali bukan kamu!
Persetan dengan hamparan kebun kacang luas yang berangin syahdu. Sinar matahari yang tak terhalangi apapun dan membuatku kepanasan. Aku tak peduli dengan tebing curam yang gagah, memisahkan hamparan hijau perkebunan di atasnya dengan bibir pantai berpasir landai yang tersembunyi di bawahnya, menyambut laut lepas dengan pelukan terbuka. Cantik, kuakui. Tapi apa artinya cantik kalau sama sekali tak membuatku nyaman.
Aku bukan tidak suka. Tapi tidak betah!
Kalau orang-orang lain bersegera melepas alas kaki dan berlarian di atas pasir, kejar-kejaran dengan ombak, membiarkan sekujur tubuh mereka basah oleh asin laut... Aku tidak begitu. Tidak ingin. Tidak terpikir. Nope!
Menyadari butiran pasir memasuki sepatuku saja rasanya risih luar biasa. Argh! Mereka bahkan lengket di kulitku yang berkeringat. Pasir-pasir bandel itu hanya akan luruh kalau kubasuh air. Tapi semakin basah kulitku, semakin banyak pasir yang melekat dan enggan pergi dari tubuhku.
Urrgh! Jorok!
Sampai dengan sore, Terra yang menyadari gelagatku, menarikku ke bawah rimbunan pohon dekat tebing dimana kami akan mendirikan tenda. Mengenalkanku pada anak-anak lain dan melepasku untuk membantu memasang tenda. Sejenak aku lupa dengan pasir-pasir menyebalkan berkat kesibukan singkat itu. Lalu aku mulai keheranan melihat bagaimana repotnya kami menyiapkan makan malam.
Beberapa orang menyiapkan tungku. Mengumpulkan ranting, kayu, dan daun kering, lalu susah payah menyalakan api. Hanya ada satu panci dan wajan besar untuk kami makan bersama. Aku hanya bisa berjongkok di dekat batu, memperhatikan mereka yang mulai memanaskan air untuk minum. Menahan diri untuk tak banyak bicara atau mereka akan tahu aku tak terbiasa dengan ini semua.
Niatnya begitu.
Tapi aku tak tahu kalau mereka akan bersikap bahwa semua orang adalah teman. Aku tidak mengenal siapa pun kecuali Terra dan Micah. Oh... Aku tahu Saka, tapi hubungan kami tak begitu akrab untuk bertukar obrolan. Ya, orang-orang ini menganggapku teman, dan mulai memberiku tugas macam-macam.
Mencuci beras, bergantian mengipasi api, memasang lampu emergency, membawa barang-barang turun dari mobil, menggelar tikar, mengikat tali jemuran...
Aku begitu sibuk bahkan untuk menyaksikan Micah tergulung ombak pun tak sempat. Ketika sadar, malam sudah datang. Teman-teman muslim melaksanakan sholat berjamaah di atas pasir dalam kesunyian riuh deburan ombak laut. Seketika suasana menjadi khidmat, dan bersama angin yang menjemput malam, kami duduk saling merapat.
Seorang perempuan yang tadi sempat kutuntun karena rabun senja duduk di sebelahku. Namanya Fitra, dan ia membawakan segelas kopi panas untukku.
Aku tidak tahu kalau malam hari, kopi panas berbau kayu terbakar, dan pantai adalah paduan yang membuatku kesal, namun mampu membuatku jatuh cinta untuk kali pertama.
Aku tak mengerti.
Sama sekali tak paham.
Kenapa orang-orang ini bisa tiba-tiba menceritakan cerita-cerita aneh tentang dosen yang tertidur saat mengisi kelas. Atau cerita-cerita mistis di selatan gedung Fakultas Teknik Sipil. Atau menu antar kantin fakultas dan membandingkan harga berikut rasanya. Menjelang larut, cerita makin beragam tentang keluarga, pacar, dan masalah-masalah pribadi lainnya. Mereka tertawa, lalu menangis, lalu berbagi pelukan, lalu tertawa lagi, dan bernyanyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...