"Mas, kalau mau nginep sini bilang dulu, lho. Mama semalam bilang ada rencana liburan di Indonesia, jangan sampai dia datang pas rumah berantakan."
Mendengar ucapan Sandar, aku terduduk pura-pura lemas di kursi ruang makan. Menutup mulutku, pura-pura shock.
"Aku diusir... Kokoh jahat! Hiks!"
Sandar memasang tampang datar, sengit. Dari kerlingan mata sinisnya, kalimat itu melesat menyerang kepura-puraanku. "Nggak usah ngelawak!"
Aku tertawa. Menyudahinya. Kembali bangkit dan membereskan piring sisa makan kami.
Ini mungkin sarapan pertama kami setelah beberapa minggu lamanya. Sandar mulai sibuk dengan kuliah dan latihan band-nya, mengingatkanku pada kehidupan soloku sebelumnya: bangun-kerja-tidur-ulangi. Kalau tak jadi sampah di proyek, ya jadi debu di kontrakan. Tura-turu wae...
Tapi tidak apa-apa, kulihat Sandar semakin yakin dengan apa yang dilakukannya. Ia makin percaya diri untuk tampil di depan orang banyak. Meski tak banyak ia ceritakan, ia tampak lebih bahagia sekarang, setelah memulai lagi hal yang ia cintai.
"Saka bego banget, masa nggak dapet vokalis, jadi aku yang harus nyanyi," begitu keluhnya di awal dulu. Padahal sudah kubilang berkali-kali kalau suaranya bagus. Setidaknya jauh lebih bagus dibanding aku. Aku lebih jago memastikan kerapian acian dinding dibanding memastikan kerapian gendang telinga pendengar tetap aman di tempatnya.
"Suara kamu bagus, Sandar. Saka minta begitu juga pasti karena menurutnya suara kamu cocok untuk grup kalian."
Kilas Balik, band mereka, mulai tampil di beberapa event kecil untuk latihan. Bahkan seminggu lalu ada rekanan yang meng-hire mereka untuk live music pesta pernikahan. Sayangnya aku tak sempat datang. Salah satu proyek kami di daerah Prawirotaman baru saja selesai, dan pekerjaanku ditumpuki banyak laporan dan checklist hingga tak sempat melihat Sandar tampil.
Nyesel banget! Padahal ada prasmanannya!
Saat aku sedang mencuci piring, kulihat Sandar termangu-mangu di ruang televisi. Handuk sudah menggantung di lehernya, tapi ia tak kunjung masuk ke kamar mandi. Malah mengamati akuarium kosong yang terisi buku-buku dan pajangan.
"Ada apa?" aku menghampirinya sambil mengelap kedua tanganku yang basah ke celana. Baru selesai mencuci piring.
"Ini, akuarium kesayangan Mama. Udah lama banget nggak kepake, menuh-menuhin. Mama pasti ngamuk kalau tahu kondisinya begini ini."
Aku mengamati akuarium kering yang lumayan besar itu. Sekitar satu kali setengah meter, tingginya juga sekitar delapan puluh sentimeter. Sebenarnya benda itu tak begitu parah kondisinya. Tak ada pecah, tak ada bocor. Hanya isinya saja yang agak aneh. Bukannya diisi ikan, malah diisi buku.
Walaupun... Yah... Yang menata di dalamnya adalah Sandar. Si Clean Freak yang nggak akan membiarkan tatanan buku di dalamnya mawut sedikit pun. Akuarium itu tampak rapi, tapi kalau dilihat dari bibir manyun Sandar dari samping, aku tahu itu sudah melampaui level yang bisa dimaklumi sisi perfeksionisnya.
"Ya sudah, Mas rapiin nanti. Kamu mandi dulu sana. Katanya ada kelas pagi?"
"Iya, nih. Mas Banyu nggak ke kantor?"
Aku menggeleng, "Baru juga pulang tadi jam dua. Bilang aja entar langsung ke proyek. Tadi udah mampir ke kantor kok, ngabarin tukang apa-apa aja yang harus dikerjain hari ini."
Sandar manggut-manggut. Aku mengacak-acak rambutnya gemas begitu ia melangkah malas ke kamar mandi.
"Jangan manyun gitu, ah! Jelek!"
"Jelek aja naksir! Wuuu!" teriaknya dari kamar mandi.
***
Mama, ya...
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...