Di sofa tempat kami biasa mengobrol dan bercumbu, Banyu terduduk tegang, tampak tak ingin berlama-lama disana. Matanya menatap lantai dengan kosong, kelopak matanya sembab. Aku cuma bisa bisu melihatnya seperti itu.
Aku bisa ingat bagaimana beberapa jam yang lalu kedua mata itu menangis untuk pertama kali. Sambil memeluk Rinai yang ternyata adalah adiknya.
Adiknya, Sandar!
Kenapa kamu begitu bodoh, sih?! Bukannya kamu dulu pernah curiga kenapa mereka punya nama yang mirip?! Kini dilihat bagaimanapun juga, merek sangat mirip, kan?!
Rinai punya mata bulat yang sama dengan Banyu. Juga bentuk hidung dan warna kulitnya yang gelap. Rinai bahkan punya cara senyum yang sama dengan Banyu.
Senyum Banyu?
Ah...
Kupikir aku sudah kehilangan kesempatan lagi untuk melihatnya di sisa hidupku. Aku benar-benar mengacaukan semuanya.
***
"Kamu sudah kuliah?" setelah beberapa saling menatap dan melepas rindu, kalimat Banyu yang nyaris mirip bisikan karena serak membuat Rinai menangis lagi.
Duduk di lantai studio, bersisian dengan kakaknya, Rinai mengangguk-angguk. Poninya yang sudah basah sampai bergoyang-goyang saking cepatnya ia mengangguk. "Iya, Mas... Semester satu..."
"Dulu kamu masih SMP..." Banyu meremas tangan adiknya. Fakta yang terucap dari mulut Banyu hanya membuat dua kakak beradik itu kembali bertukar tatapan pedih.
"Mas, pulang..."
"Mas nggak bisa pulang, dek..."
"Kenapa? Bapak?"
Banyu terdiam. Aku sudah sesegukan untuk mereka berdua di tempatku duduk. Di sudut studio lainnya, meringkuk di tempat gelap dekat pintu keluar, entah untuk kebodohanku, atau untuk mereka.
Mungkin untuk kesilapanku, tapi melihat dua saudara yang lebih mirip disebut kembar itu melemparkanku pada bayangan sinar mata pedih di kedua mata Banyu setiap obrolan kami menyinggung masalah keluarga.
Banyu tak pernah ingin membahas orang tuanya. Tapi kadang, ia suka keceplosan bercerita tentang adiknya.
"Adikku dulu suka makan jajan ini, nih."
Matanya riang, tapi langsung redup tiba-tiba.
"Kamu punya adik, Mas?"
Banyu mengangguk lemas. Dari sana aku tahu ia tak ingin membahasnya meski rindunya menjadi-jadi. Aku mengerti bagaimana konfliknya dengan kedua orang tuanya, namun kurasa adiknya tak tahu menahu mengenai itu.
"Mas Lanang juga sering berantem sama Bapak, tapi Mas Lanang pulang, Mas! Kenapa Mas nggak pulang?!"
Kudengar teriakan Rinai memecah sunyi diantara mereka. Nada suaranya emosi, tapi luka dan sepi terasa menusuk dari sana. Dibandingkan aku sebagai pendengar, Banyu tersayat lebih dalam.
"Mas Lanang juga nakal... Tapi kenapa bapak nggak mau maafin Mas Banyu? Memangnya Mas Banyu salah apa?"
Aku tertunduk dalam-dalam. Tak tega melihat wajah Banyu disana yang kebingungan harus menjelaskan apa. Malah, kalimat Rinai selanjutnya membuat pandangan ke kedua kakiku jadi makin blur oleh air mata.
"Ibu juga kangen Mas Banyu... Emangnya Mas nggak kangen Ibu? Ibu nangis diem-diem kalo inget kamu, tahu nggak, Mas... Mbok pulang, tho..."
Aku menangis tak kalah banjir begitu suara sedu sedan Rinai mampir di telingaku. Kulihat dari sini, punggung Banyu masih diam. Tak menangis, tak tersedu seperti adiknya. Namun sesuatu yang hancur tampak membuatnya gelap. Rasanya seperti jantungku ikut terkoyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...