"Permisi... Banyu?"
Aku tidak percaya sedang berdiri di tempat ini. Teras sempit di dalam gang tikus ini hanya selebar satu langkahku saja. Seandainya aku duduk selonjor dan bersandar di dinding rumah, ujung kakiku akan mencapai pagar temboknya dengan lutut yang tertekuk. Tempat super mini ini tak dipenuhi banyak barang. Selain motor Honda Verza warna hitam yang memenuhi area ini, hanya ada satu kursi besi yang mojok di sudut teras, dan rak sepatu plastik di dekat pintu. Ada sepatu yang kulihat pernah Banyu waktu di Semarang, itu sebabnya aku yakin ini benar rumah Banyu.
Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi perasaanku tidak enak sejak Sabtu kemarin. Baiklah, menyaksikan sepasang sahabat baik bertengkar sudah cukup membuat suasana diantara kami canggung. Tapi ngilu lain kurasakan di jantungku sejak kemarin. Rasanya seperti permukaan jantungku disayat, dan diperas sedemikian rupa hingga aliran darah enggan mengalir kesana.
Ketika mengeluhkan itu pada Yogamaya, ia berkata bahwa itu bukan sakitku. Ya, aku biasa merasakan nyeri fisik untuk alasan yang bukan dari diriku sendiri. Penyebab utama dan paling sering adalah ketika Winter kenapa-kenapa.
"Winter tidak henti berteriak-teriak dan meraung sejak kemarin," keluhku pada Yoya tadi pagi. Aku telah menurutinya menghentikan obat penenangku, dan menghadapi Winter seperti dulu. Yoya ngambek karena aku hanya mau menuruti Tantra, kali ini dia memaksa. Merampas obatku sambil berkata, ini bisa untuk teler nggak?
"Mungkin itu bukan Winter."
Yoya sama sekali tak menghidupi kata mungkin dalam nada kalimatnya. Ia terdengar yakin dengan asumsinya. Tanpa kuminta, ia bahkan menyebutkan nama itu.
"Banyu. Dia sedang tidak dalam kondisi baik, dan kamu ikut merasakan juga."
"Gara-gara pertengkaran tempo hari itu?"
Bisa jadi, begitu kata Yoya sambil lalu. Ia pergi melayani satu pelanggan yang baru datang, sementara aku larut dalam lamunanku di hadapan layar laptop.
Aku beberapa kali mengirimi MJ dan Banyu pesan teks. MJ curhat panjang dan memaki-maki. Banyu membalas seadanya seolah tak ada masalah. Jadi kupikir meskipun masalah MJ mengganggunya, aku bukan orang yang akan dijadikan Banyu sebagai tempat keluh kesahnya.
"Samperin aja," saran Yoya ketika aku mengaku Banyu tak membalas pesanku sejak semalam, "kalau sakitnya sampai seperti itu di kamu, mungkin ia memang sedang menghadapi kesulitan yang menyiksa."
Akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi Akbar, membuat janji untuk bertemu mereka di kantor UKon. Dengan alasan ingin mendiskusikan desain Interior kamar hotel yang akan aku tempati nanti, aku pergi kesana. Sialnya, tak ada Banyu. Ketika kutanya terang-terangan dimana Banyu, Akbar menjawab pertanyaabku dengan jawaban yang melahirkan curiga.
"Banyu hari ini ijin nggak masuk, Pak. Katanya sakit, jadi mau istirahat di rumah," lalu Akbar mengoceh bagaimana pekerjaan Banyu menuntutnya pulang malam setiap hari karena harus memantau beberapa proyek di lapangan.
"Mas Akbar tahu rumahnya dimana?"
Akbar menerima itu sebagai pertanyaan aneh. Ia mulai menduga kami cukup dekat sejak proyek renovasi Citrananda yang pertama. Aku mengiyakan saja, dan bilang kalau ada seorang teman yang menitipkan oleh-oleh padaku. Yoya memang tajam, ia melemparkan sekotak rokok herbal yang dilirik Banyu sebelum aku pergi.
"Bawa, tuh. Buat alasan kalau kamu tengsin harus cari-cari dia."
All hail, Lord Yogamaya. Kamu menyelamatkan mukaku.
Setelah diberi keterangan cukup jelas oleh Akbar, aku pun pergi ke alamat yang dimaksud. Jaraknya mungkin hanya sekitar lima ratus meter dari kantor. Dan berdiri di tempat ini, membuatku bisa mengerti jika Banyu setiap hari hanya perlu jalan kaki untuk berangkat dan pulang kerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...