[Banyubiru] Tuntas Menjadi Aku yang Lalu (TAMAT)

745 94 116
                                    

Siapa yang pernah jatuh cinta pada pandangan pertama, angkat tangan!

Jika bertahun-tahun lalu sisi mudaku yang menggebu akan mengangkat tangan dengan bangga sambil tertawa-tawa, kini aku akan mengangkat tanganku dengan lebih tenang bersama senyum yang penuh dengan kenang. Bukan .... tentu saja bukan senyum pahit. Kenangan tentang cinta pada pandangan pertama waktu itu tetap terasa ajaib dan menakjubkan. Luka dan ngilu di antaranya masih tetap ada. Namun dua kutub duka dan suka itu kini telah terurai gegap gempitanya oleh waktu yang sudah berlalu.

Empat tahun....

Kukira waktu akan terasa lambat dan menyiksa dengan puing-puing hidup yang tak tahu bagaimana caranya aku membangunnya kembali. Namun ternyata, empat tahun adalah waktu yang cukup singkat. Penuh dengan keajaiban-keajaiban yang membuatku semakin mensyukuri pilihan hidupku.

Aku tidak pernah lagi kembali ke Jogja sejak terakhir kali aku meninggalkannya. Kota penuh kenangan manis itu juga dipenuhi dengan ingatan menyakitkan yang membuatku melangkahkan kaki meninggalkannya. Tapi sebagaimana kebanyakan orang yang tak bisa menghapus memori tentang Jogja yang pernah hadir di hidupnya, begitu pula aku. Dari kota itu, kabar baik tak henti-hentinya membuat kebas hatiku kembali merasa hangat.

***

Lagu berjudul Blue: Sea and Sky yang berada di puncak playlist lariku pagi ini terhenti begitu saja berkat nada panggilan masuk. Butuh beberapa meter bagi tungkai kakiku untuk berhenti berlari di atas jogging track. Tapi hanya perlu dua detik untukku menjawab panggilan itu dan mengirim senyum untuk salam pembuka dari seberang sambungan.

"Iya ... Banyu lagi lari pagi, Bu. Jadi ngos-ngosan .... Hhehe .... Ibu mau ke pasar? Mau masak apa hari ini?"

Banyubiru empat tahun atau bahkan delapan tahun yang lalu pasti tak akan pernah membayangkan hal remeh ini akan terjadi. Jangankan mendapat kabar tentang menu masakan ibunya hari ini. Mendengar suara itu saja Banyu yang dulu tak akan punya kesempatan seperti itu.

***

Mungkin ini semua bermula sekitar tiga tahun yang lalu. Aku tidak pernah membayangkan kalau ia akan datang ke kantorku. Menunggu dengan canggung di ruang meeting seperti orang yang menunggu staff HRD untuk melakukan wawancara kerja.

"Lanang?"

Andai wajahnya masih pongah seperti dulu, atau fakta bahwa aku berada jauh tanpa kabar tak mengusikku, mungkin aku masih enggan menemuinya.

"Darimana kamu tahu aku di sini?"

Lanang tidak pernah telepon. Tak ada kesempatan baginya untuk tahu nomor teleponku, apalagi dimana aku bekerja. Tapi dengan wajah kikuk dengan sedikit dengusan senyum konyol itu, dia menjawab, "Panjang ceritanya ... tapi kamu harus tahu kalau adikmu yang satunya itu punya bakat jadi detektif."

Rinai berusaha mencari informasi tentang keberadaanku. Dia datang ke kantor UKon, menanyakan dimana aku mungkin akan pergi. Tapi aku tak pernah mengabari orang-orang kantor lama kecuali bilang kalau aku ikut temanku yang bekerja di salah satu perusahaan desain arsitektur dan konstruksi di Bali, dan akan tinggal di asrama karyawan mereka. Berbekal informasi yang terbatas itu, Rinai menelepon satu per satu perusahaan yang ia duga ada aku di sana. Hingga akhirnya menemukan fotoku di salah satu foto dokumentasi yang terpajang di Google Maps alamat kantorku yang sekarang. Ia menelepon ke kantor, memastikan ada arsitek bernama Gentamas Banyubiru, dan akhirnya membiarkan Lanang datang kemari di cuti pertamanya.

Entah tak tahu caranya mengucapkan maaf, atau terlalu canggung untuk mengatakan itu di hadapanku, Lanang malah membuka tasnya. Mengeluarkan amplop cokelat dan menyerahkannya padaku.

"Ini gaji pertamaku." Perkataannya membuatku melongo beberapa lama.

"Udah sesuai sama berat cincin yang waktu itu. Udah sesuai juga sama harga emas sekarang."

Dots on Paraline [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang