Dua minggu cukup bagi luka di tanganku untuk mengering. Dua minggu cukup untuk membuat sobekan di kakiku membaik. Dua minggu juga sudah cukup membuatku bosan duduk diam di kantor, tidak mondar-mandi ke proyek sana-sini seperti biasanya berkat kondisi kakiku.
Tapi nyatanya, dua minggu yang sudah berlalu tak juga bisa membuatku tenang. Dua minggu tak cukup membuat luka lainnya selesai.
Cukup, Banyu. Ayo, hidup.
Aku berkali-kali mengulangi itu untuk bangkit. Cukuplah Angga yang menjadi saksi sisi payahku. Aku tak ingin kalah lagi dengan hidup yang betah menginjak-injakku seperti ini. Aku tidak mau berada di bawah lagi dan meratap seperti dulu.
Aku berusaha kembali bekerja seperti biasa. Menata fokusku dan menjalani apa yang ada. Berangkat pagi, menghabiskan waktu kerja, dan pulang untuk menemui kesendirian yang sudah menunggu di kontrakan sempitku yang pengap.
Aku mencoba memilah semua masalah yang kuhadapi kepada tepi-tepi yang berbeda. Kecamuk emosi yang membuatku panik di malam hari adalah campur baur problema yang gagal kuurai satu per satu.
Masalah MJ adalah masalah ketersinggungan atas mulut kami yang lupa rem. Ledakan akibat kerisauan jangka panjang yang tidak pernah berani kami ungkapkan.
Penolakan Rinai adalah tunas kecil cari masalah besar yang coba kukubur. Melihatnya tumbuh dan menggangguku menyadarkanku bahwa masalah ini, rumah dan segala isi yang kutinggalkan di dalamnya, adalah pangkal dari semua rasa tertutupku.
Dan Sandar ...
Aku tahu dia bersalah padaku. Tapi pengkhianatannya terasa seperti luka yang sama saat Harris memilih meninggalkanku untuk orang lain. Diamku yang memicu ini semua adalah hasil ketertutupanku atas masa laluku. Akulah yang enggan berbagi hidupku padahal kami telah berkomitmen untuk bersama. Acuhku juga adalah kumpulan ego ketika campur aduk emosiku tentang MJ bergumul di saat yang tidak tepat.
Tapi Sandar, rasanya tetap sakit sekali.
Sisi diriku yang tak ingin disalahkan merasa kamu benar-benar jahat. Apa semua kesalahanku layak dibalas oleh pengkhianatan semacam ini?
Apa salahku?
***
"Ada yang bilang, cinta itu cuma masalah timing ...."
Aku tertawa bodoh dengan kalimat pembukaku setelah basa-basi panjang yang gagal mencairkan suasana. Aku sudah melakukannya seperti biasa seolah pertemuan pertama kami ini adalah hari biasa kami sebagai sepasang. Tapi sepertinya Sandar juga sama kalutnya denganku.
Rumah Sandar, dengan dua bungkus makan malam, dilanjut dua cangkir kopi di depan akuarium yang baru di bersihkan. Aku bersyukur Sandar masih ingat cara merawat akuarium ini. Ia sudah membersihkan dan mengganti airnya dengan yang baru. Jernihnya air disana seolah memberiku selamat atas keberanianku datang kemari, setelah empat belas hari dalam usaha keras menjernihkan pikiranku.
"Kamu muncul tiba-tiba secara ajaib di depan mataku hari itu... Walaupun waktu itu beberapa kali timing-nya nggak tepat dan aku berakhir gagal kenal kamu, aku cukup bersyukur dua tahun kemudian diberi timing yang tepat untuk kenal Sandar lebih jauh...."
Sandar hanya terdiam. Aku tidak peduli lagi. Aku hanya perlu ia mendengarkanku hingga selesai.
"Sampai saat ini aku masih merasa timing yang tepat itu masih melingkupiku, bahkan sampai malam ketika kamu dan...."
Kalimatku menggantung. Melanjutkannya dalam kata-kata teraba telinga saja aku enggan. Terlalu berduri untuk hatiku yang malas beriak. Sisi lain diriku memaki, lemah kamu, Banyu!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...