Ada tiga hal yang membuat sepotong jaket buluk dari orang asing itu jadi sangat mengerikan:
Satu, aku tidak suka hal-hal yang kotor. Aku tahu itu kotor, tapi tetap memakainya. Bahkan, semalaman.
Dua, aroma yang menempel disana membuatku mengingat hal-hal yang tidak ingin aku ingat, sekaligus menyelamatkanku dari sana.
Tiga, aku tidak pernah pernah tidur senyenyak malam tadi. Aku bangun kesiangan dan melewatkan kelas pagiku dalam keadaan... ffiuh... membenamkan wajah di benda aneh itu!
Aku bangun dengan rasa kaget luar biasa. Matahari sudah menerangi langit-langit kamarku, posisiku bergumul dengan jaket bau itu sangat menjijikan... Buru-buru kujauhkan benda itu dari badanku. Kubanting kasar tapi tentu ia tak kesakitan menghantam lantai yang dingin.
"Sandar, udah gila, ya?!" desisku ngeri. Mataku melotot menatap onggokan kain berbau debu rokok dan feromon magis... ehm... bukan! Aneh! Benda aneh!
Aku menggosok-gosok cuping hidungku dan melangkah terburu membuka tirai kamar. Tapi dalam hitungan beberapa detik, aku teringat senyuman laki-laki itu semalam.
"Ish!"
Kuurungkan niatku membuka tirai kamar. Ada rasa takut orang itu masih ada di depan rumah, atau setidaknya lewat. Entah kenapa... Padahal jelas-jelas ini sudah siang, sudah hari yang berbeda. Tapi pada akhirnya kuintip keluar jendela. Melihat jalan.
Kan... Tentu saja tidak ada, dasar Sandar bodoh.
Kubuka tirai dan jendela. Kubiarkan udara segar yang sudah tidak begitu dingin memasuki kamarku. Tanganku mengibas udara sekitarku, seolah inin mengusir aroma nyaman aneh yang membuatku terlelap terlalu dalam.
Aku melangkah keluar kamar begitu ingat harus bersiap ke kelas selanjutnya. Tapi baru beberapa langkah menuruni tangga, aku ingat bahwa jaket itu jaket pinjaman. Aku harus mengembalikannya, kan?
"Ah... kenapa, sih?!" Aku mulai kesal dengan kenyataan bahwa kewajiban merepotkan itu harus kujalani. Dengan langkah berdeba, aku mendaki tangga. Kembali ke kamar dan menatap hati-hati jaket yang mungkin kini juga tengah menatapku bingung. Mungkin juga marah, karena semalaman aku meremas, menguceknya lusuh tak karuan, tapi hari selanjutnya malah membuangnya seperti ini.
Aku mendengus sebal. Menenteng benda itu cepat-cepat sambil menahan napas. Lalu buru-buru menuju area cuci di dekat dapur.
Sruk! Sruk!
Kujejalkan jaket jeans dengan warna mulai mudar itu ke dalam mesin cuci. Kututupi dengan cucianku lainnya. Kuambil deterjen cair dari botolnya, dan kutumpahkan banyak-banyak ke dalam mesin cuci dengan mental ingin melakukan exorcism.
Ketika debam pintu mesin cuci tertutup rapat dan getar pencuci mulai menggema, aku baru bisa menarik napas lega.
Banyubiru...
Aku ingin curiga laki-laki ini punya ilmu pelet.
Aku harus mandi air garam.
***
"Lo kemana aja? Kenapa kelas tadi nggak masuk?" Micah, salah satu teman sekelasku menepuk bahuku begitu aku menampakkan diri di kampus. Wajahnya agak sedikit protes. Ya... tentu saja dia protes. Semestinya kelompok kami presentasi di kelas pagi tadi, tapi aku malah tidak muncul.
Hm... Tapi apa dia bisa komplain? Materi terbanyak, aku yang mengerjakan. Bisa apa pendompleng macam dia?
"Ketiduran."
"Bohong!" Micah tertawa, "lo mana bisa ketiduran. Biasanya juga sebelum anak-anak masuk kelas, lo udah duluan nongkrong di dalem."
Ya. Aku juga nggak percaya bakal ketiduran macam gitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...