Sandar (19)
Sudah lewat tujuh bulan sejak Terra memutuskan untuk tidak lagi bersamaku. Sudah tujuh bulan juga tiga boks cardboard besar itu bersarang di pojok kamarku. Terra mengirimnya via Go-Send. Tanpa kubuka, aku tahu itu semua hadiah-hadiah yang pernah aku berikan padanya.
Boks paling bawah mulai penyok karena tidak kuat menahan berat dua boks di atasnya. Di bagian tengah penyoknya, sekitar tiga minggu setelah paket itu datang, muncul sebuah bulatan seperti basah di dinding kardusnya. Kutebak itu botol parfum yang pecah. Atau tertekan sampai cairannya keluar. Sampai aroma Terra memenuhi kamarku.
Aku ingat itu parfum yang paling sering ia gunakan, parfum yang kubelikan untuk Terra ketika aku tidak suka parfum pilihannya yang dibeli bersama teman-temannya. Alam bawah sadarku merekam, itu aroma Terra. Kubiarkan aroma itu hinggap di sudut kamar selama berbulan-bulan. Menemani tingkah laku janggal yang hanya kulakukan di kamar.
Terra tak pernah mengabariku. Aku tak pernah mencari-cari kabarnya. Tapi teman-temanku tanpa diminta menceritakan tentang Terra. Tentang segala hal yang berubah padanya. Aku tak peduli --tentu saja-- di hadapan mereka. Tapi di kamar, seperti orang tolol, sambil bersandar di dekat boks berdebu yang penyok, aku mengecek akun instagram Terra. Menyaksikan foto-fotonya kini dipenuhi fotonya bersama teman-temannya.
Enam bulan lalu mereka camping di Pantai Watu Kodok. Tiga malam di akhir pekan. Di hari Seninnya, ia memamerkan kulitnya yang mengelupas terkena panas matahari.
Lima bulan lalu ia pergi ke Gunung Prau. Lalu beberapa minggu kemudian ke Bromo. Mungkin hampir setiap minggu menyusuri pantai-pantai di selatan Pulau Jawa. Sisa kemarahanku mencari sosok Saka disitu. Tapi kabar yang kudengar di kampus kemudian adalah Saka yang baru jadian dengan Fitra, sahabat Terra yang kukenal agak pendiam.
Gosip yang berhembus kemudian membuatku merasa tolol. Mereka bilang, Saka sudah lama naksir Fitra, tapi baru berhasil pedekate setelah Terra membantunya.
Dua bulan belakangan, aroma Terra mulai kabur. Juga sosok Terra yang dahulu aku kenal. Teman-temanku bilang, sekarang Terra makin cuek. Ia jarang terlihat memakai dress manis dengan warna-warna pastel seperti yang dulu aku sukai. Ia lebih sering muncul di kampus dengan washed out jeans, jaket gunung, sepatu sneaker... Ia tak pernah terlihat mengeriting rambutnya. Ia muncul di kelas dengan rambut yang dicepol asal dan make up seadanya.
Terra tampak lebih tangguh dan independent.
Aku tak pernah bertemu dengannya di kampus, atau berusaha menemuinya. Tapi lagi, ketika sampai di kamar, sisi bodoh dalam diriku dengan mudah mengetahui bahwa semua yang dikatakan teman-temanku benar.
Beberapa teman kampus bilang, Terra sudah berubah total sejak putus denganku. Ada yang bilang dia stress. Tapi ketika aku melihat wajah senyum lebarnya yang cerah, egoku kalah dan mengakui bahwa Terra justru lebih bahagia sekarang.
Bulan ini, aku tak mencium aroma Terra lagi di kamarku. Pun citra diri Terra yang aku kenal. Tapi seiring musnahnya aroma menyenangkan itu, saat itu juga aku menyadari bahwa itu bukan aroma Terra yang sebenarnya. Wangi itu adalah wangi yang ada di kepalaku untuk Terra. Imej yang kuciptakan sendiri untuk sosok Terra yang kumau. Bukan Terra yang sebenarnya.
Sama seperti senyumnya yang makin terik, aku yakin wanginya --aroma asli dirinya-- adalah wangi matahari.
***
"Hai."
Teguran pendek tapi terdengar manis itu menjawab kenapa sekelasku tiba-tiba minggat begitu saja. Beralasan ada kelas selanjutnya, padahal jam makan siang belum selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...