"Oke, cukup, cukup, cukup!" Aku menggeliat. Mencoba melepaskan diri dari pelukan Sean yang sudah membuat tubuhku menyusut macam seikat kangkung.
Beberapa menit lalu ia menggedor pintu rumahku dengan nada ketukan pintu Anna di film Frozen. Bedanya, dia menggedor macam gorilla lapar.
Dok! Dok-dok-dokK! DOKK!
"ELSA?! DO YOU WANNA BUILD A SNOWMAAAAN?!!!" Dan menyanyi, tentu saja, tanpa kesan imut sama sekali.
Dibandingkan menirukan gaya Anna yang manis, Sean justru terdengar seperti penagih hutang. Juga volume suaranya yang... Urrgh! Cukup untuk membubarkan tidur siangku yang baru saja dimulai.
Sialan.
Oh, tidak. Seharusnya... Syukurlah? Karena ia akhirnya mau bicara lagi denganku?
Tidak, tidak. Sean mulai muncul, itu artinya aku harus siap dengan hidup kacauku yang lama. Hhh...
"Nanti dulu, aku masih kangen. Kamu nggak kangen aku apa? HngGnngNgG..."
Sean ngusel-ngusel di dadaku. Aku makin bergidik. Sumpah mati, Sean tidak ada imutnya sama sekali. Tapi mungkin aku sedikit rindu akan polahnya ini.
"Udah... Udah..." akhirnya aku balik merangkulnya. Jangan bayangkan rangkulan hangat. Maaf saja... Tak sudi aku memeluk alien aneh ini. Ia pasti akan merasa menang kalau aku membalas pelukannya.
Aku menepuk-nepuk punggungnya ringan, lantas ia baru mau melepaskanku. Ffiuh...
"Kangen aku nggak?"
"Kangen," jawabku singkat, padat, tanpa perlawanan, meski agak berbohong. Hanya supaya polah mengganggunya ini lekas selesai saja... Siapa juga yang kangen dia?
Hmm... Lumayan juga, sih...
"Rambut baru lagi?" aku tahu benar itu cara membuat Sean senang. Ia suka sekali mengubah-ubah gayanya, dan akan girang bukan kepalang jika aku peduli dengan itu. Tapi tak kusangka ia akan memotong habis rambutnya hanya karena apa? Patah hati? Uff... Cupu.
Sean tersenyum lebar. Mengusap-usap kepalanya yang mulai ditumbuhi rambut pendek-pendek dan pucat. Baru di-bleaching.
"Warnain apa lagi ya, San?"
Sean membuntuti langkahku menuju dapur. Sampai di pintu kulkas, aku jadi ikut berpikir warna apa yang cocok untuk rambut super pendeknya.
"Jangan pink dan biru. Kemarin sudah."
"Aku udah coba banyak warna."
"Hitam aja."
"Ngapain?! Udah capek-capek bleaching rambut juga!"
"Ungu?"
"Jangan. Kaya habis kesiram tinta pemilu."
"Silver?"
"Kaya ubanan dong..."
"Keren, tau. Kali aja pola pikirmu bakal lebih dewasa kalau ada uban sintetis di kepalamu."
Hup!
Refleks, Sean menangkap benda dingin yang kulemparkan. Wajahnya sumringah begitu menerimanya.
"Cieee! Nyetok Milo dingin!"
Oke. Aku tidak bisa menahan senyum lagi kali ini. Aku mengaku kalah, aku memang menantikan hari ini datang. Hari dimana Sean selesai dengan patah hatinya dan kembali merusuhi hidupku.
Aku sudah berjanji untuk mulai mengurangi intensitasku berbohong. Utamanya berbohong pada diriku sendiri, prioritas selanjutnya adalah pada teman dekatku: Sean.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...