Sandar (19)
Jam segini, Terra pasti sudah tidur. Sudah lewat dua puluh menit sejak chat-nya yang terakhir.
Syukur, deh... Itu artinya aku bisa leluasa mengerjakan tugasku.
Terra itu kadang cerewet. Sifat childish-nya suka muncul kalau sudah menjelang tidur. Dia bisa jadi super berisik dan menyebalkan. Pernah suatu kali dia memaksaku mengambil gitar dan memainkan belasan lagu cuma untuk menemani dia tidur di seberang telepon.
Ck...
Kalau bukan pacar sendiri, pasti sudah kumaki-maki.
Ding
Suara dentingan samar muncul. Notifikasi Google Hangout itu lantas membuatku membuka tab dimana aku cerita berapi-api tentang Terra pada Sean, sahabatku.
Benar saja. Ada empat baris 'Jajajajaja' di chatroom. Sean terbiasa ketawa Spanyol kalau sudah menghadapi omelanku tentang Terra. Jadi, ku skip saja bagian ketawa menyebalkannya itu dan membaca kalimat selanjutnya.
"Kamu memang complainer sejati, San.
Kubaca berulang-ulang chat mu, isinya cuma tentang parfum.
Cuma, San. Cuma karna Parfum kalian pake berantem.
Yaelah."
Alisku mendatar seketika membaca kalimat Sean. 'Cih... Kaya yang nggak tahu gue aja', begitu pikirku sambil mengetik balasan yang tanpa sadar membuat jariku menekan keyboard dengan emosi.
Sean dulu pernah bilang kan, kalo Terra bisa membuatku lebih luwes dengan sikapnya yang imut-imut menggemaskan. Tapi makin kesini malah aku yang jadi baby sitter-nya. Iya sih, dia sabar mengahadapiku, dan jarang sekali... bahkan tidak pernah aku melihatnya tersinggung dengan temper-ku yang kadang tidak bisa dikontrol. Tapi apa kabar dengan kesabaranku?
Keyboard berderak berisik di kamarku yang sepi. Suaranya memantul-mantul langsung ke dinding dan membuat gaung samar yang pendek-pendek. Aku belum selesai dengan Sean. Balasanku lebih mirip dengan paragraf konflik dalam sebuah tulisan naratif.
Pesan belum terkirim, bahkan selesai kuketik. Tapi chat baru dari Sean sudah muncul.
"Is it really bad to be imperfect?
Terra is imperfect. You are imperfect.
What is perfection actually? Completion of your ideal expectation?"
Aku terdiam.
Ekspektasi?
...
Terdengar bunyi 'ding' sekali lagi, dan Sean melanjutkan ceramahnya.
"This is not about seeking something ideal with your expectations. It's about consolidation between factual condition and your expectations."
Aku termenung beberapa detik. Memikirkan apa yang Sean sebut dengan kesempurnaan, lantas merefleksikannya pada diriku sendiri.
Mereka bilang aku perfeksionis. Dan aku merasa itu benar.
Apa yang membuatku begitu? Apa aku segila itu dalam hal kontrol mengontrol sesuatu sampai-sampai aku menginginkan segala hal sesuai dengan ekspektasiku? Sampai dengan parfum Terra? Sampai dengan aroma pewangi laundry-nya? Sampai dengan sikapnya?
Sampai dengan Terra itu sendiri?
...
Apa itu sudah sangat parah sampai aku mencari sosok yang paling sempurna untuk diriku?
...
Lancangnya.
Memangnya aku sempurna?
'Ding' lain susul menyusul, membuyarkan lamunan yang membuat pertemuan alisku pegal.
"Dor! Jajajaja!" kata Sean kemudian. Menyadari aku sudah membaca chat-nya yang terakhir tapi tak kunjung membalas karena melamun. Aku menghela nafas panjang dan memijat pangkal hidungku yang pegal. Kursi putar berderit pelan saat aku menyandarkan punggungku.
Saat balon berisi titik-titik mengambang di chatroom yang menandakan Sean tengah mengetik kalimat lain, aroma kopi dari cangkir di dekat CPU mengusik penciumanku. Kuraih cangkir dan menyadari endapan di dasarnya sudah mengering. Mataku bergulir ke arah taskbar. Ada icon Microsoft Word yang sudah kuabaikan beberapa lama. Seingatku ada sekitar tujuh belas halaman bahan presentasi yang belum kuolah untuk kuliah besok pagi. Sepertinya aku butuh kopi lagi.
Dua 'ding' muncul cepat. Isinya tentang Sean yang pamit offline. Dia sedang sibuk berburu monster katanya.
Astaga, kelakuan anak ini. Sudah tengah malam masih saja main game konyol itu.
Ya sudahlah. Sepertinya aku juga harus kembali fokus pada tugas-tugasku. Sebelumnya, aku butuh cangkir kopi keduaku.
Aku memutar kursi dan siap beranjak dari tempatku duduk berjam-jam terakhir. Sekilas rasa malas muncul, berharap kalau saja ada yang membuatkanku kopi tanpa harus aku turun ke lantai bawah dan menuju dapur.
Saat itulah kaus biruku yang tergantung di balik pintu mengusik perhatian. Membuat tubuhku yang nyaris berdiri jadi terduduk lagi.
Itu kaus biru yang kupakai tiga hari lalu. Sudah kucuci dan kusetrika. Kugantung disana karena tadi sore aku keluar sebentar dan memakainya lagi.
Aroma parfum baru Terra tentu sudah hilang. Tapi aku masih mengingatnya dengan baik. Bahkan dari jarak dua meter, aku terasa seperti tengah mengendusnya lagi. Bau menusuk itu tidak lagi membuatku berang. Malah membuatku tersenyum samar tanpa sadar.
Aku berdiri, menghampiri pintu. Mengulurkan tanganku dan mengusap kaus berwarna biru pudar itu pelan. Yang muncul kemudian adalah bauku sendiri. Pengharum pakaian dari lemariku sendiri.
Mendadak aku merasa buruk sudah marah-marah pada Terra hanya karena parfumnya mengontaminasi aromaku sendiri. Sama sepertiku, Terra juga punya kesukaannya sendiri. Adalah aku yang tidak pernah bisa menerima ide tentang konsolidasi antara kesukaannya dan keinginanku.
Aku mendenguskan tawa singkat. Kuputar kenop pintu dan udara malam pun masuk. Posisi kamarku yang berada di lantai dua dan langsung mengarah keluar membuatku langsung bisa melihat langit malam yang menaungi tangga menuju lantai bawah.
Aku mendongak dan menghela nafas. Langit yang terang dengan cahaya bulan membuatku teringat harapan kecilku tadi.
Seandainya Terra ada disini... dia pasti dengan senang hati membuatkanku kopi dan menemaniku begadang sampai pagi jika kuminta.
Itu, ekspektasi.
Tapi mungkin... jauh di dalam diriku... aku merindukan seseorang yang akan bilang:
"Kamu kan sudah ngopi tadi. Jangan ngopi lagi, nggak baik."
...
...yang menghentikanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...