Perjalanan kami lanjutkan seperti rencana. Banyubiru berada di balik kemudi hingga sampai di rumahku. Ia tak henti-hentinya mengoceh heboh saat melihat gerbang rumahku yang tinggi dan putih bersih. Makin norak lagi ketika satpam keluar dan membukakan pintu gerbang untuk kami.
"Gilaaaa! Aku nggak tahu kalau ternyata kamu itu sebenernya Pangeran, Anggaaaa!"
"Pangeran apaan, sih?"
Tapi Banyu tak peduli dengan elakanku. Ia terlanjur berteriak-teriak berisik begitu gerbang terbuka. "Rumahnya jauh banget dari gerbang depan! Ya ampuuun! Ini luas tanah berapa, sih?! Cuk! Sama RT-ku masih luasan ini kali. Kamu kalau pemilu bikin tenda TPS sendiri, Ngga?"
Aku tergelak untuk candaan recehnya seharian. Andai dia bukan Banyubiru yang anehnya semacam ini, aku akan gugup sepanjang hari. Untungnya ini Banyu dengan segala kesupelannya. Ia bisa dengan mudah mengambil hati Mamaku ketika berkenalan. Juga menimpali obrolan Papa yang cenderung berfokus pada bahasan proyek hotel.
Tak ada kecurigaan yang kutakutkan. Tak ada juga tanda tanya besar seperti yang kukhawatirkan. Kami —aku, Banyu, Mama, dan Papaku, makan malam dengan santai hingga tiba waktunya aku dan Banyu pamit ke hotel untuk survey.
Tentu saja itu semua hanya dalih. Tak ada survey serius. Kami hanya minum sebentar dan jalan-jalan hingga tengah malam menjelang.
***
Tapi nyatanya, semua yang aku antisipasi tetap terjadi.
Kukira kedua orang tuaku sudah tertidur saat kami pulang. Kamarku yang cukup jauh, berada di paviliun yang terpisahkan oleh kolam renang dengan rumah utama, tak akan membuat mereka menyadari kami sudah kembali. Tapi insting Mama mungkin lebih tajam.
Saat aku selesai mandi, kudapati Mama bersama Banyu yang sedang bersantai di tepi kolam renang, di depan paviliun tempat kami bermalam. Kulihat batang rokoknya yang masih separuh dengan canggung mati di atas asbak. Menandakan kemunculan Mama yang sudah pasti tiba-tiba dan memberondongnya dengan pertanyaan.
Aku terlambat menguping, tapi sadar benar arah pembicaraan mereka.
"Tapi betul kamu cuma teman biasa Angga, kan?" kalimat itu tampaknya telah diulangi beberapa kali sebelum aku menguping saat itu.
Bisa kulihat senyum lebar Banyu yang tampak canggung ketika menjawab pertanyaan Mama. Aku bahkan bisa melihat redup matanya di pucuk kebohongan yang ia gunakan untuk menenangkan Mamaku.
"Iya, Tante ... Saya juga udah punya pacar, kok. Dan itu bukan Angga ... Hehehe ...."
Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat senyum Mama merekah canggung. Gelagat yang aku paham benar masih berisi curiga. "Hmm ... Baik kalau begitu ... Kamu pasti capek, Banyu. Istirahat, ya .... Sampai jumpa besok."
Tepukan Mama di bahu Banyu menutup obrolan mereka malam itu. Aku bersembunyi di balik dinding ketika Mama berdiri dan melangkah pergi kembali ke kamarnya.
Menyebalkan sekali ....
Aku tahu mereka akan begini. Tapi melihatnya langsung seperti ini tetap membuatku marah dan kecewa. Aku tahu, bertanya langsung adalah hal yang paling tepat untuk menghindari kesalahpahaman. Tapi bertanya langsung ketika mereka baru saja berkenalan tadi siang bukankah terlalu berlebihan? Apalagi, aku yakin, ada cerita memalukan yang menjadi bawaan pertanyaan itu. Sama seperti ketika Yogamaya diinterogasi dulu sekali.
Suara riak air membuatku menoleh ke arah kolam renang. Melihat ke arah Banyu yang mengambil lagi rokoknya, tapi gerakannya membeku ketika menggenggam korek api. Ia terlanjur termenung sebelum sadar bahwa rokok yang menyelip di antara bibirnya melorot begitu saja. Aku pun tersadar kalau obrolannya barusan dengan Mama mungkin membuatnya teringat sesuatu yang membuat hatinya tak nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...