Beberapa malam sebelum hari konser, Rinai tak bisa fokus latihan. Saka bolak-balik memelototinya, hingga akhirnya kami mengakhiri latihan malam itu lebih cepat dari biasanya. Rinai yang biasanya menunggu Lanang menjemputnya malah duduk di atas motorku sambil memeluk helm.
"Mas, traktir aku makan. Aku mau cerita ...," begitu katanya.
Meskipun ajakannya malam itu agak absurd, akhirnya kami menghabiskan sisa malam di warung makan seafood di Jalan Mozes Gatotkaca. Untung kami makan di warung yang buka sampai larut, karena cerita Rinai lumayan panjang.
Intinya, Rinai bertanya pada Lanang tentang Banyu. Kakak keduanya itu selalu menghindar ketika ditanyai tentang saudara tertua mereka. Namun pertahanan Lanang runtuh Rinai bilang, "Habis lulus Mas Banyu masih kerja di Jogja, lho, Mas ... Temenku kenal dia, kantor Mas Banyu dekat rumahnya. Pas konserku besok, apa kuundang aja, ya?"
"Jangan!" Lanang cepat-cepat mencegah. Ia mulai menunjukkan wajah tak senang. Tapi Rinai terus mendesak sampai akhirnya mengalirlah cerita tentang insiden mengerikan Banyu dengan ayah mereka.
Suara Rinai goyah ketika menceritakan bagaimana ayahnya memukuli Banyu sampai tak sadarkan diri, lalu membuatnya diusir dari rumah dan kosannya saat itu juga. Melarangnya pulang dan menemui ibu, begitu juga Lanang dan Rinai.
Hatiku rasanya ikut menciut. Kini jelas sudah kenapa Banyu sama sekali tak ingin mengungkit masa kelam itu di hadapanku. Butuh keberanian dan banyak waktu baginya untuk mengungkapkan cerita yang ingin dilupakannya itu. Sialnya, kelakuanku tak sebanding dengan rasa percaya yang ia butuhkan untuk menceritakan semuanya padaku.
"Lanang ada disana waktu itu?" tanyaku setelah kami lama saling bungkam dan meremas tangan masing-masing yang sama gemetarnya.
Rinai mengangguk. "Mas Lanang ketakutan juga. Setiap mengungkit Mas Banyu, Mas Lanang yang dimarahi Bapak .... Bapak nggak mau ada orang lain tahu."
"Ibu kamu tahu ... tentang itu...?" tanyaku hati-hati.
"Pasti tahu ...." bisik Rinai sedih, "tapi aku nggak tahu gimana pendapat ibu tentang masalah itu ...."
Rinai menghela napas panjang. Ia meraih sendoknya, namun urung menyuap nasi goreng seafood itu ke mulutnya.
"Tahu nggak, Mas ... Waktu itu pernah ada paket dari Jogja ke rumah. Yang ngirim perempuan namanya Mega. Isinya undangan wisuda Mas Banyu. Aku yang nerima, tapi ibu cepat-cepat suruh aku sembunyikan, jangan sampai kelihatan sama Bapak. Jadi aku yang simpan di lemari bajuku paling bawah, di dalam lipatan selimut.
"Kadang, kalau pas ibu beres-beres kamarku, aku masih sering lihat ibu elus-elus undangan yang kusimpan itu .... Dulu aku nggak tahu kenapa ... Tapi sekarang aku ngerti ... kenapa ibu nggak datang ke wisuda Mas Banyu, tapi keliatan sedih setiap lihat undangan itu ...."
Piring-piring berisi masakan beraroma sedap di hadapan kami sampai tak bermakna apa-apa malam itu. Kami sama-sama termenung memikirkan orang yang sama, membayangkan bagaimana sulitnya melewati krisis itu semua sendirian. Jauh dari rumah dan terusir dalam keadaan terhina oleh keluarga sendiri.
Saat hening di antara kami membuat hangat masakan di depan kami pupus, sesosok laki-laki datang. Sapaan 'heh' singkatnya membuat lamunan kami buyar. Jantungku berkedut kaget melihat pemuda yang sepertinya seusia denganku.
Wajahnya mirip sekali dengan Banyu. Hanya sedikit lebih gelap, tirus, dengan poni ikal yang menggantung di dahinya. Tubuhnya lebih ramping, meski tinggi badannya hampir sama dengan Banyu.
Ia mengeluh pada adiknya yang tiba-tiba tidak menunggunya di depan studio saja, tempatnya biasa menjemput selepas latihan. Wajahnya tampak keras, tidak seperti raut wajah Banyu yang hangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...