Banyubiru (23)
Ruang dosen mendadak awkward. Mas Fariz meninggalkan kami di ruangannya untuk mengangkat telepon di ruang administrasi. Telepon dari Rektorat, katanya. Urusan bisnisnya denganku terpaksa ditinggalkannya sebentar. Pun dengan mahasiswi yang duduk di sebelahku sekarang ini.
Sebentar...
Sejak tadi aku berusaha keras mengingat-ingat namanya. Siapa, ya?
Aku tahu benar siapa gerombolan yang biasa dengannya. Fandi, Fabian, Wenandra... Lantas gadis-gadis itu... Aku tidak begitu hafal nama-namanya. Segerombolan anak-anak kelas atas yang hobi nongkrong di kafe-kafe mahal, makan siang di restoran mewah, kemana-mana naik mobil mengkilap ramai-ramai...
Tidak heran aku sampai kurang hafal namanya. Padahal seingatku kami seangkatan. Sepertinya dia sendirian sekarang karena harus mengulang mata kuliah-- kulirik jilidan makalah di pangkuannya, oh, Karya Tulis Ilmiah. Dia pasti terbentur mata kuliah ini sampai tertinggal jauh. Aku ingat bagaimana dulu aku jungkir balik mengejar nilai di mata kuliah penelitian ini. Untungnya aku tidak sampai mengulang bersemester-semester seperti banyak temanku yang lainnya. Dan gadis ini juga.
Aku melirik ke langit-langit. Lampu TL menyala di siang hari. Membuat ruangan ini semakin dingin dan sunyi. Suara hembusan AC bahkan terdengar menyusup diantara kami.
Aduh... aku belum juga bisa mengingat namanya.
Oh iya. Makalah di pangkuannya... Sampulnya....
Jen...
Aku melihat sekilas sepenggal nama depannya di sampul makalahnya.
Oh! Aku ingat sekarang!
"Jenna, dosen pembimbing KTI-nya Mas Fariz?" tanyaku basa-basi.
Gadis itu menoleh ke arahku seperti terkejut. Rambut panjangnya yang halus dan wangi tersibak, nyaris menyabet wajahku. Posisi kami yang duduk bersebelahan di depan meja Mas Fariz tentu membuatku berada dalam posisi canggung kalau tidak segera memulai percakapan.
Dan sejak ia menoleh, aku jadi tahu kalau sejak tadi ia juga merasa awkward tapi tidak tahu harus bicara apa. Hahahaha. Aku jadi geli sendiri.
"Iya..." suaranya lembut sekali. Aku tidak bisa ingat pernah berbincang dengannya sebelumnya. Bukannya aku kurang gaul di kampus, hanya saja aku cuma kenal teman-teman lelakinya, tiga orang yang kusebutkan tadi itu. Mungkin pernah sesekali kami saling tukar sapa. Tapi hanya sebatas itu saja. Selebihnya... hm... aku sekarang yakin aku tidak pernah punya kesempatan mengobrol dengan Jenna sebelumya.
"Aku dari tadi tuh lagi coba inget-inget nama kamu. Jenna kan, ya? Bener, kan? Hehehehe..." jujurku sambil menunjuk makalahnya. Mau bagaimana lagi, memang begitu, kan?
"hehee... Sori, ya..."
Dia tertawa manis. Lesung pipit di pipinya membayang, "Nggak papa, kok... Aku juga lupa. Nama kamu--"
"Banyubiru. Banyu. Panggil aja Banyu. Hehehee... Aku kurang terkenal, ya? Hahahaha."
Jenna tertawa lagi. Kali ini sambil menutupi deretan giginya yang membayang, "Eh, enggak lagi... Aku tahu kamu, kok. Yang sering sama MJ itu, kan?"
Aku tertawa. Dalam hati tertawa masam sebenarnya. Hmmh.... jelas saja mereka saling kenal. MJ itu paling anti dengan gadis-gadis macam Jenna. Aku sih cukup tahu saja, waktu MJ marah-marah dan menyebut mereka painted whore gara-gara terdengar kasak-kusuk nggak jelas diantara gadis-gadis kampus.
"Lo tahu gerombolannya Merry si tengil bitch itu?!" nah, sekarang aku ingat siapa teman yang selalu bersama Jenna itu, "Dia bilang gue gembel mau ngelayat coba!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...