[Banyubiru] Menjalin - Terjalin

655 159 31
                                    

"Kayaknya... Kayaknya nih ya, Je... Dia itu kesambet, deh... HATSHIIIU!"

Belum sempat menyelesaikan ceritaku, laju napasku keburu dijegal bersin tak tertahan.

MJ bergidik, "Iiih! Jorok!"

Ia buru-buru merogoh totebag buatannya sendiri yang sudah mulai dekil itu. Mengambil tissue dan buru-buru mencabut selembar untukku. Sambil menahan lubang hidungku yang berair, kuterima tissue itu dan cepat-cepat menyeka ingusku.

"Huah..." Aku menggosok-gosok hidungku yang masih terasa mampat. "Salah nih, kita... Jajan es. Gue lagi pilek begini..."

"Elu nggak bilang, sih... kalo lagi pilek."

"Elu sih... segala sarapan kesiangan, jadi kekenyangan, kan... Mana udah terlanjur janjian makan bareng lagi. Huh..."

"Yaa, maaf..." MJ melemparkan kantung tissue-nya ke pangkuanku. Aku tak menolak karena sepertinya aku akan membutuhkan itu seharian ini.

Aku meluruskan kakiku yang pegal setelah setengah hari mondar-mandir di proyek. Kami duduk di atas tikar, lesehan di atas paving block area parkir mobil bersama orang-orang lainnya yang kehausan. Suasana di daerah Pengok dekat bengkel Kereta Api ini memang favorit kami kalau sudah penat dengan urusan tugas atau pekerjaan. Oh... Kami disini maksudnya tak hanya aku dan MJ saja, tapi Ravi juga.

Sejak jaman kuliah dulu, kalau penat datang terlalu dini di siang hari, kami selalu melarikan diri kemari. Minum es doger, makan batagor, menikmati rimbun pepohonan tua yang menaungi jalan dan perumahan bergaya lawas. Kalau malam hari memang hawanya agak seram, tapi siang hari di bawah pohon besar seperti ini tentu jadi tempat healing yang mengenyangkan perut juga.

Andai aku tak punya janji makan siang dengan MJ, mungkin aku masih ribet mengurusi pekerjaan plesteran dinding yang tak kunjung rapi di salah satu proyek yang sedang kukerjakan. Seperti yang sudah-sudah, aku menjemput MJ di kantornya. Membawanya lari supaya tidak dibebani pekerjaan dari atasannya yang suka tidak sadar jam rehat siang.

Tak perlu memarkirkan mobil pickup-ku lama-lama, baru mendengar suara mesin mobil butut itu saja, MJ sudah berlari keluar dengan langkah panjang berjingkat-jingkat. Aku yakin nanti dia akan diomeli seniornya karena pergi tanpa pamit. Kalau sudah begitu, MJ pasti akan balas mengomel: Ngapain pamit, kan memang sudah jamnya makan siang!

"Eh, gimana tadi? Kesambet gimana maksud lo, Nyu?"

"Yah... Itulah..." Aku menggosok ujung hidungku sekali lagi sebelum melanjutkan ceritaku tentang Sandar, "waktu kami mau lanjut cari temannya di tempat lain, tiba-tiba dia dapat telepon kalau temannya sudah ketemu. Kulihat ekspresinya sudah lega... Tapi setelah itu, waktu kuajak ngopi, tampangnya mendadak tegang, dong. Emang gue serem banget, ya?"

"Mana coba sini liat?" MJ menarik daguku, dan mengamat-amati wajahku dari dekat.

"Apaan, sih, Je? Jangan cabul, dong! Diliatin orang, ah!"

MJ menoyor pipiku, menjauhkan wajahku sambil mendecih keki, "Lo belom cukuran, tuh! Tampang lo kaya bandit, anjir! Ya dia takut, lah!"

"Oh, ya?" Aku mengusap-usap sisi wajah dan leherku. Benar juga... Aku belum sempat bercukur karena beberapa hari ini harus bolak-balik ke tiga proyek: Lippo, Kaliurang Atas, dan daerah Prawirotaman.

"Tapi tetep ganteng, kan?" aku tersenyum sok manis, menggoda MJ.

"Apaan, sih, Nyu! Jangan cabul, woy! Diliatin orang!" balas MJ nyengir, menirukan kalimatku tadi.

Saat itu seorang mas-mas bertattoo datang membawa segelas es doger. MJ menerimanya dan berterimakasih kepadanya dengan senyum manis.

"Duh... Kalo sama orang lain senyumnya manis beneeer..." Candaku.

Dots on Paraline [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang