Sandar (19)
Nasib jadi jomblo, ya, begini ini... Pergi ke mall, tapi cuma untuk nonton. Sendirian mungkin lebih baik untukku, dibanding pergi dengan Sean.
Sudah datang terlambat, minta traktir pula. Andai aku tidak terlalu kesepian dan bosan— ya, aku mengakui ini— aku tidak akan menuruti kemauannya hang out macam orang pacaran tapi diporotin begini. Kami baru saja selesai nonton dan memutuskan untuk berputar-putar di dalam Mall, sampai kemudian ide Sean muncul.
"San, aku mau hottang! Ke Seventh Sky, kuy!"
Aku melirik sinis Sean yang sudah mengacung-acungkan tangan ke arah langit dengan semangat. Matanya berbinar-binar membujukku untuk pergi ke roof top Lippo Plaza. Sore, waktu yang tepat untuk kesana. Kami bisa lihat matahari terbenam dari lantai atas Mall. Tapi waktunya tidak pas untuk dompetku.
"Hah?! Siapa yang tadi belom jadi bayar tiket nonton?! Nggak!"
"Ih... Sandar, mah, gitu... Peje, San."
"Peje apaan?!"
"Pajak Jomblo, yaelah!"
Aku menggeleng kesal. Sejak kapan Jomblo ada pajaknya? Setahuku yang Namanya Peje itu Pajak Jadian. Kalau ada Pajak Jomblo, bisa kaya negara kita ini.
"Ogah, ah. Mau pulang aja."
"Ih! Jahat kamu, San!" teriaknya lebay sambil mengekor langkahku. "Siapa yang nemenin kamu pas baru putus?! Sekarang giliran aku yang baru diputusin, kamu ninggalin akuhh!"
Aku bergidik. Teriakan Sean membuat orang di sekitar menoleh. Aku berbalik dan mendesis kesal campur gemas, "Sean, please stop being extra!"
Salah siapa main game terus? Punya pacar dianggurin, ya jelas ditinggalin, lah!
"AKU MAU HOTTANG!"
Aku lari. Bodo amat orang-orang mau lihat atau bagaimana, yang jelas aku tidak kenal sama bocah brengsek ini!
"SANDAAAR!" Sean ikut berlarian di belakangku. Berderap menuruni escalator, mengikuti langkahku yang macam dikejar T-Rex.
Aku buru-buru menarik masker yang tersampir di bawah dagu, menutupi mukaku. Malu minta ampun! Terus bergerak buru-buru ke lantai bawah.
Tapi—
BRUAKK!
Aku menoleh.
Bukan, bukan aku yang jatuh. Tapi Sean.
Posisinya sudah macam karpet. Badan tipisnya tergelar begitu saja di lantai.
"Ugh... Tolongin nggak, nih?" desisku sebal.
Aku melirik siapa yang ditabraknya. Serombongan bapak-bapak dengan ID Card menggantung di leher mereka berkerumun. Salah satu dari mereka, oom berwajah Chinese, tampak mengelapi kemejanya yang ketumpahan kopi. Sepertinya mereka bapak-bapak yang mengerjakan project di Supermarket bawah. Seingatku ada renovasi disana.
Duh! Tolongin nggak, nih?
Ragu-ragu, aku melangkah mendekat saat laki-laki dengan kemeja jeans, celana khaki, dan safety boots warna senada tampak menghampiri Sean. Mengulurkan tangan, dan dari gerak mulutnya bisa kulihat dia bicara, "Kamu nggak papa? Ayo bangun dulu."
Jadi tolongin nggak, nih?!
Tapi kemudian Sean menyambut uluran tangannya dan bilang, "Iya, mas, makasih... Eh, masnya ganteng amat, duh, deg-degan."
NGGAK!
Selamat tinggal, Sean. Kamu malu-maluin!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...