[Banyubiru] Why I Don't Give My All

468 92 29
                                    

Bicara tentang pikiran jahat, kupikir topik itu akan selesai setelah matahari terbit. Ternyata pagi justru datang tanpa permisi, sebelum sempat aku benar-benar memejamkan mata dengan pikiran-pikiran egois yang kian berseteru di kewarasanku.

Apanya yang 'Thank you for bearing with me'? Apanya yang 'Goodnight'?

Ucapan dari mulut munafikku itu justru jadi cambuk sendiri bagiku untuk membuka mata. Banyubiru yang bodoh ini akhirnya sadar, usahanya untuk menahan diri ternyata terlalu melelahkan.

Thank you for bearing with me? Terima kasih sudah berada di sampingku ketika aku berada di titik terburuk? Terima kasih sudah menjadi tempat pelarianku saat aku tak punya siapa-siapa? Terima kasih sudah menjadi telinga yang mau mendengar cerita-cerita yang terlalu memalukan untuk kubagi dengan siapa pun?

Yakin itu alasanmu berada di titik itu, Banyu? Membuka pintu saat hitungan sudah habis, mengetuk dan memanggil namanya sekali lagi meski batas untuk berpikiran jahat sudah dilewati .... Benarkah cuma untuk berterima kasih dan mengucapkan selamat malam?

Jangan-jangan, justru kalimat itu muncul karena kamu baru saja sadar, dia lah sosok yang kamu harap-harapkan untuk datang di kehidupanmu, Banyu?

Memikirkan itu, aku tidak bisa tidur sama sekali. Aku bisa mendengar dengan baik bagaimana Angga bangun pagi-pagi sekali. Melangkah keluar dari kamarnya dan masuk ke kamar mandi. Suara air mengalir dari kejauhan hanya mengingatkanku pada aliran napasnya yang menyapu wajahku beberapa jam yang lalu.

Wajahnya yang berkilau kemerahan di temaram malam, suhu permukaan kulitnya dalam genggamanku, membuatku nyaris melabuhkan dentam jantungku pada satu titik yang berusaha keras aku hindari.

Bibir itu, dalam bisikan perlahan, "My Pleasure ...." sebagai jawaban ucapan terima kasihku, terus mengundang, seolah bisikan jahat masih memeluk kami erat-erat. Kedua pasang mata kami mencari-cari, kemana muara dari sentuhan yang sama-sama tak kami antisipasi ini.

Kemana?

Untungnya ... ah, atau malah, sialnya ... pertanyaan itulah yang membuat perayaan pikiran-pikiran jahat itu buyar. Kata tanya sederhana itu ternyata punya efek luar biasa bagi napsu sesaat yang sudah memuncak di ujung napasku.

'Kemana' ... Kata itu lekat dengan masa depan, lekat dengan hal-hal tak menentu yang tak bisa dijamin dengan apa-apa. Lantas ingatan-ingatan tak di undang mengalir begitu saja, membuat napasku nyaris tersedak. Ingatan tentang masa laluku dan kecurigaan keluarga Angga tampak tak senada bila disandingkan dengan masa depan, tampak tak memiliki jaminan apa-apa. Seperti drama yang sudah aku tahu kemana akhirnya, aku terlalu enggan untuk mengulanginya. Terlalu malas. Atau malah ... terlalu takut.

Aku sudah pergi jauh dari ide tentang pikiran jahat. Aku sudah berada pada titik mempertanyakan kehendak diriku, bukan lagi dalam reka-reka 'jika'. Sayangnya, Angga masih berada dalam reka-reka itu.

Mungkin menghabiskan waktu lebih banyak dengannya, mengamati wajahnya, memahami sinar matanya, membuatku sadar malam ini sepasang itu tampak berbeda. Mungkin ... bahkan ... kedua mataku memancarkan tatap yang sama, hingga ia masih saja berdiri di hadapanku, dan berusaha bersandar padaku.

Jika pikiranku masih dicemari perandaian yang sama seperti beberapa menit sebelumnya, mungkin aku sudah menyambut sinyal itu. Kami mungkin tidak lagi berdiri di sela gawangan pintu. Aku yang hilang akal mungkin sudah mendorongnya ke dalam kamarnya yang temaram, atau menariknya ke kamarku yang sudah gelap, menyebrangi koridor tanpa mau melepas satu sama lain. Kulit kami yang meremang oleh suhu panas mungkin sudah bersinggungan lebih dari itu. Lengannya akan melingkari leherku yang berkeringat, dan tanganku akan menarik pinggangnya dalam pelukan erat-erat. Tak peduli ranjang yang mana, tak peduli redup kamar yang mana, bibir yang terpisah satu-dua hembusan napas itu mungkin sudah berdekapan sebagaimana perandaian kami yang sama.

Dots on Paraline [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang