"Senyam-senyum aja terus! Kaya ABG lu!"
Tantra menyabet punggungku dengan serbet, mencibirku yang sibuk main tamagotchi. Yoya yang baru masuk ke ruang tengah hanya tersenyum melihat Tantra meniru signature punishment-nya. Tantra sudah terlalu sering jadi bahan sabetan serbet oleh Yoya, ia sampai hapal bagaimana melakukannya. Dan kini aku yang jadi sasarannya.
Aku sih tak bisa protes apa-apa. Toh tidak sakit. Mana ada hal menyakitkan yang dilakukan Yoya, apalagi untuk Tantra. Itu sih... Love tap.
"Udah kenyang dia, jangan dikasih makan mulu."
"Dia baru pup."
Senyumku meleleh lagi, lalu suara pip berulang terdengar lagi ketika aku membersihkan kotoran Kobam, hewan peliharan berbentuk bebek aneh di tamagotchi pemberian Sean.
Aku selalu tertawa mengingat pesan Banyu ketika pertama kali mengenalkan Kobam padaku.
"Kobam is my cutest drunken mistake. Dia akan aku besarkan seperti anak sendiri. Karena rasa tak bisa bohong."
Baiklah, Banyu, baiklah... Aku cuma bisa berharap dia tidak tumbuh menjadi sebotol kecap.
"Kapan, ya, terakhir kali Aryo mesam-mesem kaya begini?" gumam Yoya yang menghempaskan tubuh bongsornya di sebelahku. Sofa berguncang sebentar akibat beban tubuhnya. "Waktu sama Van?"
Aku menggeleng-geleng, tersenyum.
"Nggak, lah... Beda kalau sama Van. Yang itu istimewa..."
***
Bagiku yang selalu sendirian, Van adalah keajaiban yang turun dari awan. Ia datang ketika aku nyaris terlalu asik dengan duniaku sendiri dan Winter. Ia mengetuk dindingku dan menunjukkan bahwa masih banyak keajaiban di dunia fisik yang belum pernah aku temui.
"Kamu nggak pernah nonton konser? Sekalipun? Serius?!"
Itu kali pertama aku dibawanya keluar tengah malam, menghadiri music gigs dan melupakan bibirku yang terbiasa bungkam ketika mendengarkan musik seorang diri.
Van, si cantik yang turun dari langit itu, meluapkan perasaannya ke langit. Lewat suaranya, lewat tawanya, lewat tarikan tangannya pada lenganku
Di mataku malam itu, tariannya setara tarian Molly Ringwald di film The Breakfast Club. Kau akan tahu ia bukan penari hebat, tapi kau tahu ia penikmat hidup yang luar biasa.
Di semestaku kala itu, Van seperti Julie Andrews dalam film Sounds of Music. Kau akan percaya ia mencintai musik, tapi kau akan lebih merasa ia memelihara riang melodi dalam setiap senyumannya.
Aku terpesona. Dan dengan mudahnya jatuh cinta.
"Terus kalau nggak kuliah, kamu ngapain?"
Lalu aku mengajaknya ke tempat tinggalku, kamar paling sudut di lantai teratas hotel keluargaku. Membuka lapisan terprivat dari kepribadianku yang tertutup dan sendiri, membiarkan ia menemaniku.
Itu adalah kali pertama kami berbagi malam, dan saat paling menakjubkan yang membuka semua pintu rahasia takdir.
Dini hari itu, ketika Van terlelap di pelukanku, aku dipertemukan oleh sosok perempuan awan yang begitu kukenal.
Ia dan Van adalah janji yang telah kujemput di kelahiranku sebagai Aria Pujangga. Ia adalah Van yang pernah mendampingi hidup dan matiku sebelumnya. Itu menjelaskan segalanya, dan memantapkan langkahku selanjutnya.
Pada waktu itu kami sama-sama masih kuliah. Tapi aku sudah terbiasa membantu pekerjaan di hotel sejak lulus SMP. Orang tuaku, meski lebih sering mengira aku tidak cukup waras untuk meneruskan bisnis keluarga, diam-diam mengandalkan kecakapanku. Mereka mempercayaiku untuk melamar Van dan kehidupan kecil yang tumbuh bersama cinta kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...