"Aku lagi nyetir. Tutup dulu, ya."
Bohong. Padahal aku baru saja memarkirkan mobil pickupku di depan studio tempatnya biasa latihan.
Perkara dengan MJ, aku sudah melewati proses sakit hati, marah, bersedih, lalu kini mulai menyesal. Seharian aku bekerja hari ini wajah sedih Sandar terus terulang-ulang di otakku. Aku tahu ia pasti kesal dan ikut bersedih melihatku begini. Entah apa yang membuatku malah menjauhkannya dari masalahku ini. Karena egoku yang tak mau disalahkan? Kenapa? Kupikir apa yang dikatakan Sandar adalah hal yang murni datang darinya.
Semestinya aku mendengarkannya. Ia berada diantara aku dan MJ via Sean, ia yang bisa melihat permasalahan ini dalam lingkup yang lebih luas. Aku semestinya mendengarkannya, dan tidak memenangkan sudut pandang sempitku yang emosional.
Bukankah kami ini partner? Bukankah semestinya kami berbagi hidup, berikut semua luka yang kami punya?
Mendadak aku merasa berdosa sudah membuatnya diam-diam menangis. Dia sudah berusaha untuk menjangkauku dan bersabar. Kami memang baru saja memulai ini semua, dan bagi Sandar yang terbiasa tak peduli, dienyahkan saat ia berusaha merendahkan diri peduli dengan orang lain pasti rasanya sakit sekali.
Bodoh kamu, Banyu.
Bodoh level super.
"Hhhh..." Aku menghela napas panjang. Sesal-sesal menggunung di dadaku. Mataku bergulir ke arah muka studio yang tampak masih terang meski sudah malam.
Dalam teleponnya tadi Sandar bilang ia masih di studio, jadi kupikir aku harus menemuinya malam ini juga. Kebohonganku yang terakhir juga harus dimasukkan dalam rekaan kalimat permintaan maaf yang ingin aku ucapkan padanya.
Kuendus sekilas lenganku kanan dan kiri. Bau. Aku tidak sempat pulang ke rumah untuk mandi atau merapikan diri. Setelah mengawasi tukang pulang, aku langsung kemari tanpa mempersiapkan apa-apa. Di kepalaku hanya ada Sandar.
Aku turun dari mobil. Menepuk-nepuk sekitar bahu, dada, lalu perut. Antisipasi jika masih banyak debu yang menempel di tubuhku yang sudah lengket oleh keringat. Aku melangkah masuk dan menemui seorang laki-laki berpipi tembem yang sedang mengerutkan alis, mendelik ke arah layar laptopnya. Nyaris menempelkan wajah kesana. Kulihat headset menempel di kedua telinganya, maka aku menegurnya dengan mengetuk pelan mejanya.
"Mas?"
Ia segera melepaskan headsetnya, "Oy."
"Masih ada yang latihan?"
Dia mengangguk, "Anak Kilas Balik masih ada yang di atas. Cari siapa?"
"Sandar udah pulang?"
"Oh, dia masih di atas. Samperin aja."
Aku mengucapkan terima kasih. Ia mengacungkan jempol lalu kembali sibuk dengan laptopnya.
"Maaf, aku sudah kasar sama kamu... Ehm... Kamu nggak kasar, Banyu. Kurang ajar, iya. Maaf, aku sudah bikin kamu sedih. Nggak seharusnya aku nyuekin... Nyuekin? Bukan... bukan... Maaf udah seret kamu pulang dan nggak balas chat dan... ehm... Kenapa gue bego begini, sih. Hhhh..."
Sambil meniti tangga ke lantai dua yang sempit, aku mengulang-ulang kalimat permintaan maafku. Seperti orang bodoh. Tiap anak tangga membuatku grogi, terlebih anak tangga terakhir.
Juga... pintu studio itu.
Jantungku berdebar tidak karuan. Rasanya sampai sakit karena terlalu gugup. Wajah apa yang harus aku tampakkan di hadapannya nanti? Muka ganteng? Memelas?
Ugh... apa pun itu, aku siap kena omel.
Dengan satu tarikan, aku membuka pintu studio yang tidak terkunci itu. Di dalam tak begitu terang, lampu sedikit remang. Tapi aku bisa dengan mudah menemukan San—
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...