Matahari terik sekali. Kalau saja aku tidak harus mengantar Terra untuk kelas siang ini, aku tak perlu berpanas-panasan tengah hari bolong begini naik motor.
Aku menyipitkan mataku, berusaha mendongak dan melihat lampu lalin yang mengedipkan detik-detik lampu berhenti. Angka digital itu berkedip dari seratus lima puluh jadi seratus empat puluh sembilan. Masih lama sekali. Mobil, motor, dan truk masih melintas dari Ring Road Utara dari arah Solo. Aku tidak bisa berbelok begitu saja ke arah Jalan Affandi. Bisa mati aku kalau menerobos lampu merah.
Aku mendongak sekali lagi. Lampu mengedip dari seratus empat puluh sembilan ke seratus lima puluh. Pahaku rasanya seperti ditimpa setrika. Sepatuku terasa terpanggang aspal jalan. Lampu merahnya lama sekali, sih?! Aku mulai tak betah dengan panasnya. Apalagi ditambah dengan Terra yang masih betah dengan aroma parfumnya yang menusuk dan mengganggu itu.
"Aku lebih suka harum pewangi pakaian kamu tahu nggak," protesku sambil menggosok hidungku yang gatal. "Sudah kubilang parfum kamu baunya nggak enak, masih saja dipakai. Kamu tuh ngabisin rata-rata dua belas jam per hari sama aku terus, tahu! Harusnya kamu pakai parfum dariku aja biar aku lebih nyaman!"
Terra diam saja tak menjawab. Aku jadi makin kesal karena protesanku diabaikan. "Hey, Terra! Kalau diajak ngomong jawab, dong!"
Aku menoleh dan terkaget. Tak ada siapapun di jok belakang. Sejak tadi aku berkendara sendirian.
Gawat. Jangan-jangan aku meninggalkan Terra di depan rumahnya saat dia sedang mengenakan helm? Ugh .... sial. Aku harus putar balik kalau begitu.
Tapi kenapa lampu merahnya lama sekali? Sejak tadi masih seratus empat puluh sembilan detik. Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Sebentar lagi kelas Terra akan dimulai. Ia bisa kena omel dosennya yang galak itu kalau aku terlambat menemputnya. Tapi sepertinya aku tidak bisa mengantarnya ke kampus dengan tepat waktu.
Aku mendongak. Menyipit dan menemukan kejanggalan. Lampu terus berkedip dari seratus lima puluh ke seratus empat puluh sembilan, lalu seratus lima puluh lagi, dan seratus empat puluh sembilan lagi. Terus begitu tanpa ada tanda-tanda akna mendekati angka nol.
Kulihat arus lalu lintas dari seberang. Kendaraan melaju cepat seperti mengejar sisa lampu hijau. Tapi semuanya terus datang tanpa henti seperti aliran sungai yang menghantam jeram. Tak ada tanda-tanda akan berhenti.
Aneh sekali ....
Aku mulai kepanasan dan tak sabar. Tapi kendaraan di kanan kiriku tampak masih menunggu dengan sabar seolah lampu merah yang menyala di atas kepala kami wajar saja tanpa gangguan.
Atau jangan-jangan ini cuma perasaanku saja? Aku yang kepanasan yang jadi tak betah menunggu. Tapi setelah kulihat jam tanganku, ternyata detik hanya maju mundur di tempat yang sama.
Saat itulah aku mulai panik. Aku turun dari motor dan mengamati ke sekeliling. Orang-orang dan kendaraan di sekitarku tampak tak terganggu ketika aku menghadang kendaraan mereka. Mereka bahkan tak kelihatan bingung melihat pengendara motor turun dari motornya dan mulai melambaikan tangan di depan muka mereka.
Sebenarnya ada apa ini? Kenapa gangguan lampu lalin ini tak membuat mereka terusik?
Jantungku mulai berdebar kencang. Aku mulai ketakutan. Jangan-jangan aku sedang mimpi dan tidak bisa bangun?
Kepalaku tak henti celingukan. Semuanya masih berjalan sama bahkan bermenit-menit berikutnya. Aku mulai panik. Saking paniknya sampai terpikir ide gila.
Lalu lintas yang melaju dari depan sana ... Kalau aku menabrakkan diri ke salah satu kendaraan di sana, apakah aku akan terbangun?
"Hey, Sandar ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...