Dalam bayanganku malam itu, aku akan membuka pagar rumah, membuka kunci, tanpa ingin mandi, langsung tidur. Badanku terlalu Lelah, kepalaku terlalu pusing, moodku terlampau berantakan. Tapi yang kutemui justru dia. Memeluk dirinya sendiri, tertidur menungguku di teras rumah.
"Mas Banyu!"
Astaga! Kenapa dia masih disini?!
Sudah kubilang tidak perlu datang, sudah kubilang tak perlu menungguku. Tapi lihatlah dia, meringkuk di udara sedingin ini. Tertidur di bangku teras dengan kepala yang nyaris menjadi satu dengan dinding di sisi kirinya.
"Mas..." panggilku pelan karena teriakan terkejutku barusan ternyata tak membangunkannya sama sekali. Bahkan deru motorku saja tak mengusik tidur pulasnya.
"Mas, bangun..." aku menepuk lengannya hati-hati.
Banyubiru baru bereaksi. Ujung alisnya berkedut, seolah memerintahkan kelopak matanya untuk terangkat membuka, tapi gagal. Kupanggil namanya berkali-kali hingga kerut-kerut wajah lelahnya akhirnya terjaga.
Aku mendesah sedih dalam hati. Menyesal. Seharusnya aku pulang lebih awal. Semestinya aku tak perlu meladeni obrolan itu.
"Eh..." kedua mata Banyu yang tampak masih lengket akhirnya fokus mendapatiku yang tengah membungkuk di hadapannya. Tubuhnya menggeliat, mengusir pegal dan kantuk, lalu tertawa seperti orang bodoh, "Maaf, koh... Tokonya udah mau buka, ya?"
Aku geleng-geleng kepala. Masih sempat-sempatnya dia bercanda?! Dasar...
"Kok kamu malah tidur disini, sih?" desisku saat ia menguap dan berdiri di hadapanku. "Kan aku udah bilang, Mas Banyu pulang ke kontrakan aja. Dari jam berapa Mas tidur disini?! Kan dingin!"
Jogja sedang dingin-dinginnya. Kalau tengah malam begini mungkin bisa sampai dua puluh atau sembilan belas derajat. Tapi dengan angin malam yang terbuka, dinginnya jauh lebih membekukan. Bagaimana kalau dia sampai sakit?! Dasar bodoh.
"Baru aja, kok."
Bohong.
Lihatlah garis-garis di pipinya, dia pasti sudah terlelap lama menempel tembok.
"Aku kangen. Pengen ketemu kamu," katanya lagi, seolah itu hal yang mendesak.
"Besok juga bisa ketemu. Mas, kita ini bahkan satu RW." Aku membuang napas dalam dan panjang. Mengusir rasa cemas, sebal, dan bersalahku telah membuatnya menunggu. Setelah menggembok pagar, aku merogoh sakuku dan membuka kunci pintu.
"Nggak mau. Aku butuh ketemu sekarang."
Aku memutar bola mata, memasuki ruang dalam yang masih gelap. Banyubiru mengekor. Kudengar di balik punggungku ia mengunci pintu rumah dari dalam. Langkahnya terseret-seret. Kentara sekali ia masih ngantuk.
Benar saja. Aku baru saja melepas tas dan jaketku, tapi Banyu sudah nemplok di punggungku. Memelukku dan membenamkan kulit wajahnya yang dingin di leherku.
"Kangen..." suaranya bahkan hanya berupa hembusan napas. Berat tubuhnya membuatku sadar bahwa ia sudah terlalu Lelah dan mengantuk untuk mendengarku mengomel.
"Ayo, tidur. Cuci muka, cuci kaki, gosok gigi. Cepat."
Banyu melenguh. Menolak.
"Cepetan! Mau aku guyur?!"
"Ampun, mak, ampun. Iya, iya."
***
"Guys, kenalin ini Pradipta. Pemain sax di grup kita."
Tidak perlu Saka menyebutkan namanya, senyum itu sudah membuatku mengenalinya. Sama seperti ketika aku mendengar penegasan namanya, ia juga ternganga mendengar namaku disebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...