Naya turun dari mobilnya menatap gedung pencakar langit yang berdiri menjulang tinggi di hadapannya.
Dengan gerakan kasual, gadis itu membuka kacamatanya dan menatap gedung yang sudah lama tidak pernah ia datangi dengan tatapan malas.
Andai saja Nando Fernandez tidak memintanya datang dan memaksanya untuk mengambil berkas pada pamannya--Danu-- mungkin saat ini Naya masih berleha-leha di ruang pribadinya di dalam butik.
Naya mendengkus dan melangkah masuk ke dalam gedung.
"Siang Mbak Nay. Udah lama banget enggak pernah kelihatan," sapa seorang satpam ketika melihat Naya.
"Biasa, Pak. Saya sibuk makanya jarang datang." Naya menyahut santai. "Lagian, kalau papa enggak ada di sini, mau ngapain saya?" tanyanya seraya terkekeh.
"Iya, Mbak. Bapak juga udah jarang muncul di sini. Bapak sehat?" Pak Satpam cukup lama mengenal Naya dan keluarga atasannya. Meski terkadang anak atasannya ini terlihat angkuh dan arogan, tapi ia tahu jika Naya adalah orang baik.
"Sehat walafiat, Pak," jawab Naya. "Kalau begitu saja permisi dulu. Mau ada keperluan sama Om Danu." Naya menatap jam di pergelangan tangannya dan pamit pada Pak Satpam.
"Iya, Mbak. Silakan."
Naya melangkah masuk dan men-scaning sebuah kartu lebih dulu sebelum mesin yang berada di hadapannya memberi reaksi jika dirinya sudah di perbolehkan masuk.
Meski ini adalah perusahaan milik papanya, tapi ketika ingin masuk, Naya harus melakukan pemeriksaan keamanan terlebih dahulu.
"Mbak, Om Danu ada di dalam?" tanya Naya menghampiri resepsionis.
"Ada, Mbak. Mbak sudah di tunggu di ruangannya," kata sang resepsionis yang sudah lama bekerja di perusahaan Nando.
"Oke, terima kasih."
Naya melangkah memasuki lift yang kebetulan terbuka yang langsung membawanya menuju ruangan Om Danu.
Tanpa basa-basi ketika tiba di ruangan Danu, Naya segera mengetuk pintu dan masuk setelah di persilakan masuk.
"Naya. Ini berkas yang di minta papamu. Ingat, jangan sampai hilang atau rusak. Kalau enggak, tamatlah riwayat om," ujar Danu setelah Naya duduk di kursi.
"Tenang, Om. Nay akan bawa berkas ini ke papa langsung. Kalau begitu Nay langsung pulang, ya? Papa minta Nay buru-buru soalnya mau mengecek berkas ini lebih dulu sebelum bertolak ke Jepang," kata Naya bangkit dari duduknya.
"Kamu enggak minum dulu?" tawar Danu pada keponakannya.
"Enggak deh, Om. Aku langsung pulang. Habis itu aku mau cari cincin kawin sama Abi," ujar Naya.
"Oh, baiklah. Kamu hati-hati di jalan." Danu tersenyum mengantar kepergian Naya hingga tiba di depan ruangannya.
"Sip, Om."
Saat ini Naya masih berada di lorong lantai ruangan om-nya berada menuju lift yang sudah berada di dekatnya.
Tak lama bunyi ponselnya terdengar nyaring dari dalam tasnya. Naya menepuk dahinya lupa mengecilkan volume.
"Alify?" Kening Naya mengerut sebelum akhirnya ia memilih untuk mengangkat telepon dari sahabatnya tersebut.
"Kenapa?" tanya Naya setelah mengggeser layar ponselnya.
"Nay, lo ada di kantor bokap lo?"
"Iya. Kenapa?" tanya Naya memutar bola matanya malas. Bukannya menjawab pertanyaannya, Alify justru balik bertanya, dengkus Naya dalam hati.

KAMU SEDANG MEMBACA
MENGEJAR CALON PENGANTIN
General FictionDi tinggal kekasih yang sudah berpacaran selama satu tahun tidak membuat Anaya Bilqis begitu terpuruk karena ia menganggap pria yang bersamanya bukan jodohnya. Hingga akhirnya orangtua Naya berasumsi bahwa Naya gagal move on dan berniat mencarikan j...