"Ma! Mama! Mama di mana? Ma, oh mama!"
Suara teriakan Naya menggema di dalam rumah besar kediaman Nando Fernandez.
Tadi Naya sempat mengantarkan bekal untuk makan siang Abi dan setelah itu ia bersama Aira yang masih mengikutinya langsung bergegas kembali ke rumahnya.
"Apa, Naya? Mama lagi di dapur. Lagi buat puding buat papa kamu."
Naya langsung bergegas menuju dapur di mana suara mamanya berasal. Setelah tiba di dapur, Naya bergegas menuju kulkas dua pintu, membuka pintu kulkas, kemudian ia mulai mengeluarkan satu kotak jus jeruk dan meneguknya hingga tandas.
"Kamu tadi kenapa teriak-teriak? Heboh banget kayaknya," ujar Nia tanpa menatap Naya sama sekali.
Naya membuang kotak jus ke dalam kotak sampah kemudian mengambil tempat duduk di meja seberang tempat mamanya berada. Tapi, sebelum itu ia terlebih dahulu mencomot gorengan yang baru di angkat dari dalam wajan oleh bibi.
"Aku mau kasih tahu mama sesuatu." Naya menelan makanannya lebih dulu sebelum kembali berujar, "aku ketemu sama Aira. Anaknya Tante Arin."
Gerakan tangan Nia yang tengah memotong puding untuk dimasukkan ke dalam wadah kecil seketika itu terhenti.
Ragu, Nia mendongak menatap putrinya dengan pandangan ragu. Sudah lama sekali ia mencari keberadaan mantan adik iparnya itu dan kini Naya justru bertemu dengan keponakannya yang tak lain adalah anak kandung Danu dan juga Arin.
"Aira?" Suara Nia berbisik lirih, membuat Naya segera mengangguk.
"Iya. Aira. Nama anaknya Tante Arin. Mama enggak perlu panik karena yang terpenting adalah kita sudah menemukan keberadaan Aira." Naya berujar ketika melihat ekspresi panik yang terlihat dari raut wajah mamanya.
"Maksud kamu, Nay?"
"Anaknya Tante Arin ikut sama aku, Ma." Naya mengedarkan pandangannya ke sekitar dan tidak menemukan keberadaan gadis itu. "Tadi aku bawa masuk kok. Kok enggak ada, ya?"
Mendengar itu, Nia langsung pergi keluar setelah memberi pesan pada ART untuk menggantikan pekerjaannya sebentar. Sementara Naya yang di tinggal hanya menggeleng melihat tingkah mamanya.
Naya mencomot lagi bakwan goreng yang lagi panas-panasnya dan menggigitnya dengan penghayatan penuh.
"Rasanya enak, Bi. Seperti biasa," komentar Naya sambil mengangguk puas.
"Iya dong non. Masakan bibi memang enggak ada duanya. Non Nay sendiri kenapa enggak coba masak buat Mas Abi?"
Bibi Surti adalah seorang asisten rumah tangga yang sudah bekerja hampir sepuluh tahun di kediaman Nando Fernandez. Surti sangat tahu dengan sifat majikannya itu yang paling malas jika berurusan dengan dapur. Kecuali, jika ia sedang dalam mood bagus, maka Naya tidak akan pernah pergi dari dapur selama satu hari penuh guna menuntaskan eksperimennya.
"Ogah. Rajin amat saya mau masak buat dia." Naya meneguk air putih di dalam gelas sampai habis.
"Yah, jangan begitu, Non. Begitu-begitu, Mas Abi calon suaminya non Nay lho. Terus Non Nay calon pengantin mas Abi."
Surti berujar antusias. Dia adalah salah satu penggemar Abi dan selalu menonton acara Abi di televisi. Wanita tiga puluh lima tahun itu bahkan sudah beberapa kali minta foto dengan Abi ketika pria itu datang berkunjung.
"Bibi mau menikah sama dia?" Naya bertanya yang langsung mendapat gelengan Surti.
"Bibi sudah ada Mang Jaja. Itu saja sudah cukup," kata Surti menanggapi serius ucapan Naya.
"Tenang aja. Abi juga enggak akan mau sama bibi. Dia 'kan sukanya sama saya."
Surti diam-diam memutar bola matanya mendengar ucapan Naya. Terlihat tidak suka tapi sebenarnya cinta mati. Dasar non Naya, gerutu wanita itu dalam hatinya.
*****
Keesokan paginya.
Abi sudah berada di dalam rumah Naya dengan ditemani oleh Nia dan juga Nando.
Abi sedang meminta izin para orangtua Naya untuk membawa gadis itu ke bandung karena ia di undang untuk menjadi bintang tamu di sebuah acara.
"Mama sih terserah Naya saja ya. Dia mau ikut apa enggak. Tunggu di sini sebentar ya nak Abi, mama panggil Naya dulu," ujar Nia.
"Iya, Ma."
Namun, belum sempat kaki Nia menginjak tangga, Naya sudah lebih dulu terlihat menuruni anak tangga. Kening Nia mengerut melihat Naya turun dengan kopernya.
"Hm. Berarti kamu sudah tahu ya Nay kalau Abi mau ajak kamu pergi?"
Naya mengangguk mendengar pertanyaan mamanya. Dia memang sudah diberitahukan Abi untuk menemani pria itu ke Bandung. Berhubung Naya adalah tunangan yang baik dan pengertian, ia setuju saja dengan ajakan Abi.
"Kami berangkat dulu, Ma, Pa," pamit Abi pada Nia dan Nando.
Abi mencium punggung tangan Nia dan Nando begitu juga dengan Naya yang disambut delikan horor dari Nia.
"Biasanya si Naya itu kalau cium punggung tangan kita waktu lebaran aja ya, Pa? Ngeri juga kalau mau caper di depan calon suami," bisik Nia pada Abi.
"Aku dengar, Ma," kata Naya yang sudah melangkah lumayan jauh dari posisi orang tuanya.
"Bukan mama yang ngomong. Itu papa saja yang suka menggosip," elak Nia disambut dengkusan Nando dan Naya.
Naya berjalan mengikuti Abi masuk ke dalam mini bus setelah mereka meletakkan koper di bagasi belakang. Di jok depan samping sopir sudah ada Rully. Lalu, di bagian kedua ada Naya dan juga Abi. Terakhir di bagian ketiga ada Nindy dan Sinta yang kini sudah menampilkan ekspresi tak suka yang sempat di lihat Naya.
"Bi, lo panas enggak? Entah kenapa gue merasa ada uap-uap neraka di sini," gumam Naya sedikit keras.
"Gue enggak panas tuh. Ini 'kan masih pagi. Apa jangan-jangan lo enggak mandi lagi," tuduh Abi langsung.
"Mandi gue. Tapi, entah kenapa gue merasa ada uap neraka aja," sahut Naya acuh.
"Mau gue kipas?" tawar Abi yang langsung mendapat gelengan Naya.
"Enggak perlu. Entah kenapa rasanya udah mulai adem lagi," kata Naya acuh.
Perjalanan terus di isi dengan celotehan Abi yang sesekali di tanggapi acuh oleh Naya. Hingga akhirnya mereka sampai di hotel tempat mereka bermalam untuk dua hari ke depan.
Seperti biasa, Naya memiliki kamar sendiri dan itu letatnya di samping kamar Abi. Sementara kamar Nindy, Sinta, dan Rully berada di satu lantai bawah.
"Nay," panggil Abi, membuat Naya menoleh menatap pria itu dengan pandangan bertanya. "Tidur bareng gue, yuk." ajak Abi dengan tampang mesum.
Naya melotot. Gadis itu menunjuk tinjunya tepat di depan wajah Abi
"Gue kasih lo ini tahu rasa lo."
"Oh, takut." Abi menatap takut pada tinju Naya, tapi sedetik kemudian pria itu mengecup tangan yang terkepal dengan lembut.
Naya gugup. Tidak di sangka Abi akan melakukan hal itu. Segera diturunkan tangannya dan tanpa kata ia melangkah masuk ke dalam kamarnya yang sudah terbuka sejak tadi.
"Nay, pipi lo merah. Lo alergi dengan pesona gue?" goda Abi terdengar.
"Bodo amad. Dasar jin!"
Setelah itu pintu tertutup rapat tanpa mau di buka lagi oleh Naya. Sementara Abi terkekeh sendiri melihat tingkah jual mahal Naya. Tak di sangka jika Naya bisa bertingkah malu-malu seperti kucing.
"Ah, my lovely cat," gumam pria itu sebelum akhirnya ia berbalik pergi, memasuki kamarnya sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
MENGEJAR CALON PENGANTIN
General FictionDi tinggal kekasih yang sudah berpacaran selama satu tahun tidak membuat Anaya Bilqis begitu terpuruk karena ia menganggap pria yang bersamanya bukan jodohnya. Hingga akhirnya orangtua Naya berasumsi bahwa Naya gagal move on dan berniat mencarikan j...