"Ingat lho, Nay, nanti malam kamu harus datang tepat waktu. Mama enggak mau tahu," peringat Nia pada Naya. Naya melangkah keluar dari rumah diikuti Abi yang sedari tadi diam menatap ibu dan anak yang sering berdebat lucu di depannya.
"Kalau enggak lupa deh," sahut Naya malas.
"Ih, jangan sampai lupa pokoknya. Enggak enak sama Om Danu, Nay." Nia mencubit gemas lengan putrinya. "Kita boleh enggak suka sama istrinya Om Danu, tapi jangan bawa-bawa Om Danu juga kasihan," katanya lagi mencoba membujuk putrinya. Sifat keras kepala Naya mirip seperti papanya. Tidak heran jika Naya suka bertingkah arogan di depan orang yang tak di sukai dan itu di dukung oleh suaminya, Nando Fernandez.
"Kenapa mama enggak pergi aja sama papa 'sih Ma? Perasaan papa jarang banget muncul di depan keluarganya Tante Risa." Ini adalah pertanyaan yang sering mengendap di pikiran Naya namun sering ia lupa tanyakan pada sang mama.
"Tante Risa itu kalau lihat papamu, kayak mau nerkam papa. Mama enggak suka aja." Kening Naya mengernyit tak percaya mendengar penuturan papanya.
"Masa 'sih Tante Risa begitu? Enggak percaya aku, Ma. Bisa aja 'kan mama ngada-ngada begitu," ucapnya seraya menggeleng tak percaya.
"Enggak percaya ya sudah." Nia mendengkus. "Lagian papa juga belum pulang dari Berlin. Katanya sampai nanti malam jam satu."
"Aku usahain deh," ujar Naya sebelum memasuki mobil yang sudah dibuka Abi.
"Harus pokoknya." Nia menekan kalimatnya setengah memaksa. Tidak ada Naya yang menemaninya akan membuat Nia tidak betah di acara ulang tahun ibunya Risa yang akan diadakan di rumah Risa.
"Kalau saya enggak ada jadwal nanti malam sebenarnya saya mau ikut, Tan. Sayangnya jadwal saya sudah dibuat dari jauh hari." Abi tersenyum menyesal karena tak bisa menemani Naya dan Nia.
"Aish. Enggak apa-apa kok Nak Abi kalau enggak bisa nemenin tante dan Naya. Tante tahu kesibukan artis seperti kamu itu pasti padat banget," ucap Nia seraya menepuk pundak Abi dan tersenyum manis.
"Maaf banget, ya, Tan." Lagi, Abi tersenyum membuat Nia menggeleng dan berkata jika ini bukan salah Abi.
Melihat interaksi calon suami dan ibunya diluar sana membuat Naya mendengkus sambil mencibir di dalam hati.
Sok akrab, pikirnya jengkel.
Setelah berbasa-basi singkat, Abi segera masuk ke dalam mobilnya. Pria itu meminta sopir untuk segera jalan dan meninggalkan pekarangan rumah orangtua Naya.
Hanya membutuhkan waktu 40 menit sampai akhirnya mereka sampai di sebuah ruko berlantai dua dengan dinding yang terbuat dari kaca di bagian lantai bawah.
Abi dan Naya segera turun. Ketika keduanya memasuki pintu kaca, mereka segera di sambut oleh pria yang mengenakan kemeja biru dengan lengan yang di gulung sebatas siku.
"Oy, Bi, baru sampai?" sapa pria yang menjabat sebagai manajer Abi. Pria bernama Rully itu mengangguk dan mulai mengarahkan Abi ke ruangan yang sudah banyak alat, kabel, dan beberapa mesin yang Naya ingat untuk memutar suara musik dan penyanyinya.
Rully bahkan tidak repot-repot untuk menegur Naya dan menganggap gadis itu tak kasat mata. Memang dikira Naya akan peduli dengan sikap Rully? Jika Rully bisa bersikap seperti itu, mengapa Naya tak bisa? Pikir gadis itu keki sendiri.
"Oh, iya, Bi, tadi Cillia dari sini. Katanya dia nyari lo gitu," ucap Rully ketika mereka duduk di sofa.
Naya yang tengah memperhatikan alat-alat dalam ruangan yang bercat cokelat itu diam-diam mendengarkan apa yang akan diucapkan Abi.
Awas saja jika Abi berani bermain serong di belakangnya, Naya akan membakar pria itu menjadi abu.
"Buat apa dia nyari gue di sini? Kita udah enggak ada hubungan apa-apa lagi." Abi berujar dengan santai sambil membaca kontrak yang diberikan Rully padanya.
"Mungkin dia masih cinta sama lo?" sahut Rully terdengar seperti pertanyaan.
"Dia cinta tapi gue enggak." Abi bergumam pelan. "Gue udah enggak ada urusan lagi sama dia dan gue minta lo stop buat bahas dia lagi," ujar Abi penuh penekanan.
"Sayang banget, Bi. Karier dia lagi naik-naiknya."
"Gue enggak cinta karier orang lain. Gue cinta karier gue sendiri dan calon ibu bagi anak-anak gue," timpal Abi sambil menatap Naya dengan senyumnya.
"Tapi--"
"Kenapa enggak lo aja yang pacaran sama cewek itu? Kenapa repot-repot maksa Abi buat dekat sama cewek yang udah enggak dia sukai lagi?" sela Naya menatap Rully dengan pandangan malas.
"Lo perempuan. Mending lo diam aja jangan ikut campur urusan laki," tandas Rully menatap Naya datar
"Lo suruh gue diam di saat lo berusaha membujuk calon laki gue buat balikan sama mantannya. Di depan gue. Seriously? Waras, eh?" cibir Naya terang-terangan. Matanya menatap Rully seolah Rully adalah orang gila yang baru masuk mall.
"Udah. Dari pada kalian ribut enggak jelas gini, Rully mending lo minta Pak Abraham buat cek sound sistem soalnya gue lagi mau latihan," perintah Abi ketika Rully berniat menyela Naya. Abi heran sendiri dengan sikap Rully yang agak menjengkelkan hari ini.
Mendengkus kesal, Rully akhirnya memilih untuk mencari Abraham sesuai perintah Abi.
"Itu gitar masih bagus?" tanya Naya melirik gitar yang tergeletak di dekat piano. Abi melirik benda yang dimaksud Naya sebelum akhirnya pria itu mengangguk.
"Semua di sini masih bagus-bagus kok. Lo bisa main gitar?" Abi menatap Naya dengan sebelah alisnya yang terangkat naik.
"Bisa dikit," sahut Naya datar. "Habis ini kita mau kemana?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.
"Manggung bentar di kafe, terus latihan vokal seperti kemarin, dan habis itu kita pergi cari cincin."
Naya mengangguk dua kali. Naya kemudian fokus pada layar ponselnya yang menampilkan chat dari kedua sahabatnya.
Prissy dan Alify. Keduanya tengah meributkan tentang utang piutang yang tak akan dibayar oleh salah satu pelanggan Alify sesuai ramalan Prilly, kembarannya Prissy yang saat ini tengah menempuh pendidikan beasiswa di Jerman.
Naya sendiri tidak terlalu dekat dengan kembaran temannya itu karena memang Prilly jarang bergabung dengan mereka. Prilly banyak berteman dengan laki-laki karena gadis itu memang sedikit tomboi dari mereka.
"Pokoknya gue enggak mau tahu suruh si Prilly buat dukunin itu ibu-ibu buat bayar utang ke gue!" tulis Alify pada pesan grup mereka.
Tak berselang lama terlihat Prissy tengah mengetik hingga akhirnya munculah sebuah tulisan yang membuat Naya terkikik sendiri.
"Kembaran gue bukan dukun, Pit. Kembaran gue cuma bisa ngeramal dan lihat hantu aja."
"Terus, gue gimana dong?"
"Mana gue tahu. Itu urusan lo deh kayaknya. By the way, makanya lo harus banyak buat amal, Pit, biar lo enggak dicurangi terus," tulis Prissy memberi nasihat pada sahabatnya.
"Gue rajin kok buat amal. Tiap bulan pembantu gue, asisten gue, pegawai toko gue, gue kasih duit."
"Itu gaji, Pit. GAJI. Bukan amal tapi kewajiban."
"Ya setidaknya gue udah berbuat baik 'kan?"
"BODO AMAD!"
Naya hanya membaca tanpa membalas pesan dari kedua sahabatnya. Baginya keributan Alify dan Prissy sudah biasa menjadi makanan sehari-hari mereka.
![](https://img.wattpad.com/cover/119711897-288-k837271.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGEJAR CALON PENGANTIN
Fiksi UmumDi tinggal kekasih yang sudah berpacaran selama satu tahun tidak membuat Anaya Bilqis begitu terpuruk karena ia menganggap pria yang bersamanya bukan jodohnya. Hingga akhirnya orangtua Naya berasumsi bahwa Naya gagal move on dan berniat mencarikan j...