38

6.8K 787 48
                                    

Saat ini mereka tengah menjadi pusat perhatian. Banyak yang sudah berbondong-bondong mendekat. Bahkan, nenek Reva, orang tuanya, dan juga Nia ikut kumpul.

"Cewek barbar lo! Enggak punya otak!" bentak Helen tak terima.

"Lo semua yang barbar dan enggak punya otak. Apa maksud lo nge-gosipin mak gue, hah?" balas Naya seraya berkacak pinggang. "Udah pernah lihat mak gue ngemis duit sama orang lain makanya bilang mak gue matre?"

Nia yang tengah dibicarakan sontak terbelalak. Segera, wanita yang tengah mengenakan dress kuning emas dengan motif moci di seluruh bagian segara menghampiri mereka.

"Ini kenapa mama di bawa-bawa, Nay?" tanya Nia menatap putrinya heran.

"Mama dengar sendiri mereka tadi bilang kalau mama perempuan matre yang ditinggal papa karena enggak mau tanggungjawab. Mereka juga bilang kalau mama artis yang sudah enggak terkenal lagi," adu Naya pada mamanya.

"Astaga." Nia menutup mulutnya dengan kedua tangan secara dramatis. "Kalian menggosipkan saya? Saya ada salah apa sama kalian? Dan lagi, kalian dapat gosip itu dari mana?" cerca Nia setelah sadar dari keterkejutannya.

Ketiga gadis itu diam dengan kepala tertunduk karena di cerca oleh Nia. Tidak sampai di situ saja, bahkan orang-orang juga kini menatap mereka dengan tatapan yang mereka sendiri tak tahu artinya.

"Mereka ini 'kan sepupunya dan temannya Reva, Ma. Dari mana lagi mereka tahu gosip itu kalau bukan dari keponakan mama," ujar Naya ketus. "Heran deh sama orang yang suka ngomongin orang lain di belakang. Enggak tahu apa ya kalau azab si tukang gosip itu perih." Matanya melirik Reva yang berada di antara kerumunan.

"Hei, jangan sembarangan ya kamu. Cucuku adalah wanita baik-baik dan terhormat. Dia enggak mungkin kayak gitu." Haminah menatap tajam Naya yang terlihat tak takut sama sekali.

"Yakin?" cibirnya membentuk senyum sinis. "Memang dari mana mereka tahu kalau bukan dari cucunya nenek sendiri."

"Cucuku enggak mungkin seperti itu," bantan Haminah keras kepala. "Cucuku wanita baik-baik. Buktinya saja dia sudah punya tunangan kaya raya yang jatuh cinta dan tergila-gila sama dia." Haminah selalu membanggakan Reva di setiap ada kesempatan.

"Tunangan hasil nikung sepupu sendiri aja bangga." Naya mengalihkan matanya menatap Reva sinis. "Serius, Rev, lo bangga tunangan sama cowok bekas gue yang lo curi diam-diam?" tanyanya dengan sebelah alis terangkat.

"Kalau gue jadi lo, Rev, gue akan malu karena memamerkan tunangan hasil nikung." Naya tak memberi mereka waktu untuk menyela. "Apalagi dengan cara kotor."

Terlihat Reva menatap sedih pada Naya sehingga membuat Haminah dan Risa menggertak kesal mendengar ucapan Naya.

"Nay, apa kamu sampai sekarang belum bisa melupakan Evan? Aku akan memutuskan Evan kalau itu bisa membuat kamu bahagia," lirih Reva yang masih terdengar oleh orang lain.

"Enggak bisa gitu dong, cucunya eyang tersayang. Evan itu cintanya sama kamu, bukan sama Naya. Kamu enggak bisa memaksakan hati seseorang." Haminah mengusap kepala cucunya dengan sayang. Lalu, tatapannya beralih pada sosok Naya yang masih berdiri dengan congkak tak jauh dari posisi mereka berada.

"Lihat ini? Betapa cucuku memiliki hati yang baik. Tidak sepertimu yang memiliki hati jahat," tandasnya menatap Naya sengit.

Naya tertawa seraya menggeleng kepalanya menatap drama memuakkan yang berada di hadapannya.

"Gue enggak mungkin mungut ludah yang udah gue lepeh. Serius. Lagian gue juga udah punya cowok yang lebih ganteng, terkenal, dan yang pastinya itu cowok yang tergila-gila sama gue," kata Naya sambil tersenyum sombong. "Poin penting yang sebenarnya enggak pengin gue kasih tahu ke elo, Rev, takutnya lo mati karena over dosis rasa cemburu." Naya tersenyum lebar hingga matanya menyipit. "Kalau pacar gue itu anak orang kaya nomor tujuh di dunia. Lo tahu 'kan artinya? Uang keluarganya enggak akan habis sampai tujuh turunan."

"Bukan ke tujuh, Nay, tapi ke lima. Calon mertua kamu orang terkaya di dunia di urutan ke lima," sela Nia memperbaiki kalimat Naya. "Tujuh turunan delapan tanjakan, harta mereka enggak akan bisa habis."

Kalimat Nia barusan membuat pasokan pernapasan Reva rasanya tersendat. Tangannya mengepal tak terima mengetahui jika lagi dan lagi ia kalah dari Naya.

MENGEJAR CALON PENGANTINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang