Part 33

1.6K 216 8
                                    

Pada malam hari, Haidar duduk di depan rumah ibunya di temani sebatang rokok yang terselip di sela-sela jarinya. Kepulan asap yang keluar dari bibir Haidar membuat gadis yang berada di samping jalan raya tersenyum miring.

"Bella?" panggil Haidar pelan, Bella tersenyum lembut dan berjalan mendekat ke arah Haidar.

Suasana sepi di desa Tambah Rejo membuat Bella segera mendekati Haidar. Dia sedikit teringat ucapan Mbok Sri saat masih bekerja di rumahnya, konon katanya di sekitar rumah masih sering terjadi hal-hal yang janggal.

"Mau kemana, Bel?" tanya Haidar sembari mendongak, menatap Bella yang berdiri menjulang di depannya.

"Jalan-jalan, kata Mbok Sri setiap habis magrib ada penjual putu ayu. Aku belum pernah makan putu, jadi mau nyoba." Ujar Bella dengan semangat.

Haidar terkekeh pelan, dia berdiri dari duduknya dan membuang rokoknya yang masih setengah lalu menginjaknya.

"Ayo, kita ke perempatan." Ajak Haidar sembari mengulurkan tangan kanannya.

Bella menatap uluran tangan Haidar dengan alis bertautan. Haidar yang melihat uluran tangannya tak segera di sambut. Dengan cepat Haidar menarik jemari Bella dan menggenggamnya.

"Eh?"

"Gak apa-apa, dingin, 'kan?"

"Iya sih, lumayan dingin." Jawab Bella dengan senyum tipis.

Dua remaja tersebut mulai meninggalkan pekarangan rumah. Di jalan Bella dan Haidar sama-sama terdiam, mereka bingung mau membicarakan apa. Atau memulai obrolan seperti apa.

Sampai di perempatan, Haidar membawa Bella duduk di bangku yang terbuat dari bambu. Jika di desa, bangku semacam itu sering di temukan entah untuk istirahat orang yang bepergian atau di buat kumpul anak muda.

Pemuda desa berkumpulnya seperti itu, sembari membawa kacang rebus atau jajanan lain. Mereka berkumpul di perempatan atau suatu tempat yang menurutnya nyaman, di temani gitar dan sebungkus rokok.

"Aku sebenarnya takut mau keluar sendiri, tapi tadi ada Kak Reno di pinggir jalan depan rumah Mbok Sri. Lagi nyari sinyal." Ujar Bella saat mereka sudah duduk berdampingan.

Tubuh Haidar menegang mendengar ucapan Bella. Reno ada di pinggir jalan? Otomatis Reno melihat Haidar yang menggenggam jemari Bella.

"Kakak kamu fokus sama ponsel?" tanya Haidar was-was.

"Iya, fokus sama ponsel. Cuma waktu aku jalan ke rumah Kakak, dia lihatin aku karena aku takut."

"Kak Reno lihat waktu kita gandengan tangan?"

"Mungkin enggak. Tapi, gak tahu deh Kak Reno mirip Papa gak bisa di tebak. Antara tahu ataupun enggak." Jelas Bella dengan kekehan kecil, Haidar merasa sedikit tenang saat Bella terkekeh.

"Kak, katanya mau cerita." Ujar Bella saat mengingat ucapan Haidar tadi siang.

Haidar menoleh dan menatap Bella tanpa berkedip. Ada rasa ragu untuk bercerita masalahnya dengan Bella, sebelumnya hanya dia yang tahu.

Haidar tak bercerita sedikitpun pada siapapun, bahkan nenek kakeknya tak ada yang tahu. Yang mereka semua tahu orang tuanya berpisah karena sang ayah lebih memilih perempuan lain daripada ibunya. Hanya itu.

"Kalau gak siap cerita gak apa-apa, aku gak maksa kok." Bella memegang punggung tangan Haidar dengan lembut.

Haidar tersenyum miring, dia mengeluarkan sebungkus rokok dan koreknya. Dia berdiri dari duduknya dan berjalan ke arah jalan. Bella yang melihat itu menaikan sebelah alisnya.

Kebingungan Bella terjawab sudah, saat melihat Haidar menyalakan korek dan membakar ujung rokok. Haidar tak mau rokok di samping Bella.

"Maaf, aku gak mau kamu batuk." Ujar Haidar pelan, bibirnya mengeluarkan asap rokok dari bibirnya.

"Iya, Kak. Terima kasih."

Haidar tersenyum tipis dan mengangguk, dia mulai jongkok di samping jalan. Jaraknya dengan Bella memang tak terlalu jauh, setidaknya Bella tak menghirup asap rokok yang keluar dari bibirnya.

"Dulu, Papa orang yang paling aku anggap sempurna. Gak pernah mengecewakan, tak pernah menyakiti, selalu bersikap lembut sama anak istrinya, saat Mama gak suka sama kelahiranku. Papa juga yang membuatku tetap bertahan hidup, sampai besar. Saat Mama selalu mencari kesalahanku, Papa yang membelaku. Saat Mama memandangku hanya dari sisi negatif, berbeda dengan Papa. Dia selalu memandangku dari hal positif." Bella menatap wajah datar Haidar.

Kepala Haidar yang mendongak menatap langit sambil sesekali menghisap rokoknya. Ingatannya berputar saat keluarganya masih utuh dan tak ada masalah apapun.

"Aku dulu lelaki bodoh, selalu ranking terakhir. Tapi aku selalu juara saat menggambar. Dari situ aku belajar, aku pandai di bidang melukis bukan pelajaran. Tapi, Mama selalu bilang. Saat bekerja otak yang di perlukan bukan ketrampilan. Aku gak tahu itu hanya untuk mematahkan semangatku atau memang benar, karena aku juga belum memasuki dunia pekerjaan." Kekeh Haidar di akhir kalimatnya.

Bella semakin menajamkan indra pendengarannya. Karena, kata-kata Haidar semakin lama semakin pelan.

"Papa selalu menyemangatiku, dia tak pernah meremehkan kemampuan ku. Dalam segala hal. Mama sama Papa itu kebalikannya. Jika Papa sangat menyayangi dan selalu ada untukku, berbeda dengan Mama. Dia selalu menyalahkanku, siapapun orang yang melakukan kesalahan di rumah. Selalu aku yang di marahi dan di salahkan, menderita bukan?"

Bella mengangguk dengan semangat, karena memang merasa hidup Haidar kurang beruntung di masa lalu. Atau bahkan sampai sekarang. Karena dia sudah tak memiliki ayah dan memiliki ibu sedikit luka di otaknya.

"Karena hal itu, Papa menjadi orang yang paling aku percaya, Papa adalah orang yang paling aku yakini tak akan mengecewakan ataupun mematahkan hatiku. Tapi, nyatanya salah, orang yang paling aku percaya adalah orang yang paling dalam menciptakan luka di hatiku. Orang yang aku yakini tak akan mengecewakan adalah orang pertama yang mematahkan semua kepercayaanku." Haidar tersenyum tipis sembari menunduk menatap tanah yang masih basah karena hujan tadi sore.

Bella menatap Haidar tanpa berkedip, dia tak pernah tahu jika orang yang membuat Haidar tak mempercayai orang lain adalah ayahnya sendiri.

"Bukan karena seorang gadis?" tanya Bella yang sedari tadi diam, Haidar mendongak dan tersenyum tipis. Di susul gelengan kepala pelan.

"Aku tak pernah berpacaran, atau bahkan dekat dengan gadis karena luka yang di ciptakan Papa terlalu dalam. Aku selalu berpikir, Papa yang darahnya mengalir di tubuhku, benihnya yang tumbuh menjadi diriku saja bisa mengecewakan dan mematahkan kepercayaan. Apalagi orang lain yang tak memiliki hubungan darah, dan berkata akan saling memegang kepercayaan karena cinta. Padahal seharusnya cinta ayah dan anak lebih besar daripada cinta anak manusia satu dengan anak manusia yang lain. Hubungan ayah dan anak saja bisa patah, apalagi yang bukan, Bel." Sorot mata Haidar yang teduh membuat Bella menahan napasnya.

Banyak pertanyaan yang berkecambuk di dalam benaknya. Tapi Bella takut di anggap lancang oleh Haidar.

"Kenapa Mamanya Kak Haidar kayak gak suka gitu sama Kakak?" tanya Bella saat mereka lama terdiam.

"Entahlah, alasan sesungguhnya aku tak tahu. Yang jelas, Mama tak suka anak lelaki. Kakakku perempuan dan adikku juga perempuan."

"Kemana saudaramu?"

"Meninggal karena kecelakaan," gumam Haidar pelan.

~~~

Ada yang nunggu Haidar up? Kurang panjang gak part ini?
Jangan lupa vote dan komen, ya.😘
Salam hangat dari author gigi kelinci.🐰

14 Februari 2021.

T̶h̶e̶ S̶e̶c̶r̶e̶t̶ 𝓗𝓪𝓲𝓭𝓪𝓻Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang