Part 43

1.7K 209 5
                                    

Nuansa sejuk di bawah pohon tepi hutan yang masih rindang membuat  Bella termenung dengan pikirannya sendiri. Dia tak sendiri di sana, Haidar dan teman-temannya juga ada di sana.

Bedanya, Bella saat ini duduk di bawah pohon jambu yang menjulang tinggi. Sedangkan teman-temannya ada di teras rumah yang masih terbuat dari kayu tersebut.

"Ada yang kamu pikirkan?" tanya seseorang yang baru saja duduk di samping Bella.

Bella menoleh dan tersenyum tipis, anggukan kecil dari kepala Bella membuat Haidar menaikan sebelah alisnya. Padahal jelas-jelas Haidar melihat Bella yang tengah termenung dengan pandangan kosong.

"Jujur saja, ada apa?" ulang Haidar.

Bella menatap wajah Haidar dari samping dan tak sengaja air matanya jatuh begitu saja. Haidar yang melihat itu tentu saja terkejut. Dia belum pernah melihat Bella menangis sebelumnya. Haidar hanya pernah mendengar isak tangis Bella saat di telepon, bukan secara langsung seperti ini.

Bella terlalu tangguh untuk menangis, apapun masalahnya Bella akan memikirkannya sendiri dan tersenyum manis saat ada yang bertanya.

"Hey, bicara kamu kenapa? Hem?" tangan Haidar terulur untuk mengusap air mata Bella yang semakin gencar mengalir di kedua pipinya.

Teman-temannya yang berada di teras hanya mampu melihat interaksi dua remaja tersebut dengan senyum manis. Saling menyayangi dan mencintai namun ada hal lain yang menjadi fokus mereka saat ini.

"Entahlah, banyak yang aku pikirkan. Tapi, aku juga gak tahu cara mengungkapkannya ke orang lain. Aku gak terlalu sering bercerita tentang masalah hidupku dengan orang lain. Aku lebih sering duduk sendiri, memikirkan semuanya sendiri, sampai semuanya terasa lebih mudah. Baru aku akan menjumpai orang lain, dan tersenyum seperti biasa."

Haidar menatap mata Bella dengan lembut. Bibirnya tersenyum miring, dengan helaan napas panjang.

"Sama, aku juga sering melakukan hal seperti itu. Bagiku, bercerita dengan orang lain bukan menjadi penyelesaian masalah. Tapi, membuka jalan baru untuk masuknya sebuah masalah. Kamu tahu kan dari awal aku gak percaya pada siapapun, aku gak percaya pada orang lain. Selain diriku sendiri."

Bella tersenyum lembut dan mengangguk. Matanya terpejam untuk beberapa saat, Haidar yang melihat itu tentu heran. Apakah Bella akan berbicara serius sampai di memejamkan kedua matanya.

Biasanya, Bella melakukan itu saat hendak berbicara serius. Darimana Haidar tahu? Karena dia sudah sering mengobrol dengan Bella. Pada saat di desa Bella juga melakukan hal yang sama.

Jadi, dari sudut pandang Haidar. Bella akan memejamkan kedua matanya sebelum berbicara serius.

"Aku tahu, tapi hapus rasa gak percaya itu secara perlahan karena ada seseorang yang ingin mendapatkan rasa percayamu."  Gumam Bella pelan. Haidar termenung mendengar ucapan tersebut.

"Maksud kamu?"

"Bukankah kita sama-sama berjanji untuk bertemu di waktu yang tepat. Setelah aku menggapai cita-citaku, dan kamu menggapai cita-citamu. Jika pada saat itu kita bertemu di waktu yang tepat dan kita sudah menggapai impian kita masing-masing. Apakah rasa tak percaya yang selama ini Kakak tanamkan di diri Kak Haidar akan terus berlanjut? Aku gak mau hidup dengan lelaki yang gak percaya sama isterinya sendiri."

Ucapan Bella bagai tombak yang menembus jantungnya. Perkataan Bella tak ada yang salah, memang seorang perempuan ingin mendapat kepercayaan seorang lelaki. Tapi sulit bagi Haidar untuk mempercayai seseorang begitu mudahnya.

Bukan waktu sebentar untuk menghilangkan rasa trauma di hidupnya. Bukan waktu singkat untuk melupakan rasa kecewa dan sakit karena penghianatan keluarga.

Haidar menatap wajah Bella yang menunduk. Rambut pendek yang menutupi pipi tembamnya membuat Haidar mengusapnya secara perlahan. Entah reflek atau bagaimana, Bella mendongak dengan pelan. Tatapan mata bulat Bella dan tatapan tajam dari Haidar bertemu.

Tak ada senyuman, tak ada kata-kata yang keluar dari bibir dua remaja tersebut. Namun, usapan lembut dari tangan Haidar masih berlanjut.

"Bisakah aku mempercayaimu?" gumam Haidar pelan.

"Rasakan dengan hatimu, jangan dengan pikiran apalagi karena kata-kataku. Kak, mungkin mata bisa salah saat melihat, pikiran bisa keliru saat menilai. Tapi, kamu punya hati yang bisa merasakan sebuah ketulusan, kejujuran dan rasa cinta dari seseorang. Nilai aku dengan hatimu, bukan dengan pikiran ataupun kata orang. Baik tidaknya aku menurutmu itu karena hatimu yang menilai."

"Bisakah aku hidup dengan gadis sempurna sepertimu?"

Bella terkekeh dan menarik tangan Haidar yang tengah mengusap pipinya. Dia menaruh tangan Haidar di atas pangkuannya lalu menggenggamnya dan mengusapnya dengan lembut.

"Kamu ada untuk menyempurnakan aku, dan aku ada untuk menyempurnakan separuh sifat burukmu, Kak Haidar."

Haidar tersenyum manis dan mengangguk, apakah seindah ini rasanya jatuh cinta? Apakah seindah ini rasanya melihat senyum orang yang selalu menghantui pikiran kita? Apakah ini yang di sebut kebahagiaan?

"Tuhan itu baik, saat aku berdo'a ingin lelaki seperti Papa. Aku akan mendapatkannya." Gumam Bella pelan. Haidar menaikan sebelah alisnya dengan dahi mengernyit heran.

"Akan?"

"Iya, akan. Karena hal yang beluk tentu terjadi tapi sudah ada prediksi untuk kesampaian. Aku ingin lelaki seperti Papa, dingin, cuek, tapi perhatian dan penuh kasih sayang. Dia cinta pertamaku, dan aku ingin lelaki yang akan menjadi cinta terakhirku sifatnya seperti Papaku, Melvi Adelard Ivander Januarta."

"Secinta itu kamu sama Papamu?" tanya Haidar pelan.

"Papa itu walaupun dingin tapi dia juga sosok yang hangat bagi keluarganya. Walaupun dia cuek, tapi dia juga sosok yang perhatian pada keluarganya. Dia bisa menempatkan sifat dan sikapnya di waktu yang tepat. Aku kagum sama Papa. Sampai aku terobsesi ingin punya suami seperti Papa." Kekehan kecil dari bibir tipis Bella membuat Haidar ikut tersenyum.

Mungkin jika kehidupannya seperti Bella, dia juga akan mencari isteri seperti Ava. Memiliki sifat yang sangat lembut, penuh perhatian dan selalu ceria.

Mungkin, jika keluarga masih seperti dulu Haidar tak akan berubah menjadi sosok yang seperti sekarang. Jika keluarganya tak pecah berantakan mungkin kebahagiaan saat ini hinggap di hatinya. Bukan lagi kebencian dan sakit hati yang sangat mendalam.

"Aku juga ingin hidup bahagia, Tuhan. Sama seperti orang lain yang bisa merasakan bahagia dari keluarga."

~~~~

Jangan lupa vote dan komen,
Salam hangat dari author gigi kelinci.🐰

29 April 2021.

T̶h̶e̶ S̶e̶c̶r̶e̶t̶ 𝓗𝓪𝓲𝓭𝓪𝓻Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang