Part 3

3.4K 372 38
                                    

Sepatu kets putih dengan kaos kaki berwarna putih juga membalut kaki mungil Bella, pagi ini dia akan berangkat sekolah bersama kakak tertuanya. Delvian Marcellino Januarta, duda satu anak tersebut masih membujuk anaknya agar mau di tinggal bekerja.

Bella yang sudah siap menatap kakak dan keponakannya secara bergantian, kebahagiaanya terasa musnah saat melihat wajah konyol Marcel berubah menjadi sendu saat mengingat mendiang istrinya.

"Kamu berangkat aja, Cel. Biar Ardin sama Mama." Tukas Ava yang baru datang, Bella yang melihat mamanya masih terlihat cantik di usia paruh baya tersenyum manis.

"Ma, aku nanti ke cafe dulu sebelum pulang. Ada banyak tugas," ujar Bella pelan, Ava menatap Bella dengan alis bertautan.

"Butuh koneksi internet, Bel?"

"Iya, Ma." Jawab Bella dengan senyum manis.

"Di rumah wi-fi nya gak bermasalah, kan?" Bella menggeleng dengan tegas menjawab pertanyaan Reno.

Memang di rumahnya terpasang Wi-fi. Tapi tak enak juga jika kedua temannya mengerjakan di Cafeteria sedangkan dirinya di rumah.

"Kenapa gak di rumah saja?" Tanya Reno dengan jas kantornya.

"Kalau di cafe bisa diskusi sama temen, Kak."

Reno mengangguk dan mengusap puncak kepala adiknya, Ava hanya dapat menghembuskan napasnya pasrah. Dia bukannya mengekang Bella berlebihan, hanya saja dia tak menyukai saat Bella sering keluar rumah.

Anak gadis harus betah di rumah, itu menurut Ava dan Melvi.

"Ayo berangkat, Bell." Ajak Marcel saat melihat putranya sudah tertidur.

Bella mengangguk dan mulai pamit pada mamanya, Reno sudah berangkat ke kantor tadi. Dia berangkat pagi karena ada kendala dan papanya sampai turun tangan karena Reno belum bisa mengatasinya.

Marcel membukakan pintu mobil untuk adiknya, hal yang selalu di lakukan kedua kakak Bella saat dia akan naik mobil. Sikap manis Reno dan perhatian seorang Marcel membuat Bella tak memikirkan pacar, dia rasa selama kedua kakak dan orang tuanya masih ada. Semua akan baik-baik saja.

"Belum dapet doi, Bel?" Tanya Marcel di sela-sela mengemudinya, gadis manis yang tengah membaca buku tersebut menoleh menatap kakaknya.

Pembahasan yang selalu Bella hindari adalah tentang doi. Dia bingung harus menjawab apa, jika di tanya punya pacar pasti jawabannya tidak. Tapi doi kan artinya dia orang istimewa, sedangkan di hatinya memang ada orang istimewa.

Entah sadar atau tidak dia mencintai sosok tampan kakak kelasnya, lelaki yang memiliki sifat mirip Melvi dan Reno. Itu alasan Bella menyukainya dari dulu.

"Gak tahu, bingung juga."

"Kalau memilih lelaki, lihat dari cara dia memperlakukan orang tuanya. Terutama sang ibu, percaya sama Kakak. Kalau dia mencintai dan sangat perhatian dengan ibunya, dia juga akan melakukan hal yang sama dengan mu. Tapi satu hal yang harus kamu ingat, jangan pernah cemburu dengan ibunya. Kalau dia lebih perhatian dengan orang tuanya." Tutur Marcel lembut, Bella mengangguk dengan semangat.

"Aku pengen punya pacar kayak Papa dan Kak Reno, dingin di luar tapi sikap dan sifatnya manis, Kak." Marcel terkekeh pelan dan mengangguk.

"Kamu akan dapat yang seperti itu, perbaiki kualitas dalam dirimu. Jangan hanya kualitas fisik, yang glowing dan mulus sudah banyak. Sedangkan yang memiliki hati tulus dan jujur sudah jarang."

Bella hanya mampu tersenyum, Marcel selalu bisa membuatnya tersenyum dan menangis di waktu yang bersamaan. Teguran yang di lapisi kelembutan membuat Bella cepat paham dengan ucapan Marcel.

T̶h̶e̶ S̶e̶c̶r̶e̶t̶ 𝓗𝓪𝓲𝓭𝓪𝓻Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang