Part 45

1.4K 215 11
                                    


Langkah kaki lebar milik lelaki jangkung tengah memasuki ruang keluarga rumahnya. Rumah megah namun sangat sepi senyap, bahkan tak ada tanda-tanda kehidupan selain dirinya sendiri.

Haidar sudah terbiasa saat pulang main melihat pemandangan ini. Ruangan gelap gulita, sangat sepi sekali. Bahkan yang terdengar hanya detak jam dinding.

"Baru pulang?" Haidar menghentikan langkah kakinya di anak tangga paling bawah.

Embusan napas panjangnya terdengar sangat berat dan berusaha mengulur kesabaran. Dengan wajah tetap datar dia membalikkan tubuhnya dan menatap lelaki paruh baya di depannya dengan tatapan mata tajam.

"Hem,"

"Siapa gadis yang kamu peluk tadi?" tanyanya dengan sorot mata tak kalah tajam dari Haidar.

"Apa hak anda mencampuri urusan pribadi saya? Siapapun dia. Itu tak ada urusannya dengan anda, Tuan." Bantah Haidar dengan nada suara sangat tinggi.

"Begitu cara kamu memperlakukan orang tua? Ibumu tak mendidikmu dengan benar!"

Haidar menaikan sebelah alisnya dan terkekeh pelan, dia mendekat ke arah lelaki tersebut dengan senyum mengejek.

"Bukankah didikan anak harus dari Ayah dan Ibunya? Tapi apa yang saya dapatkan. Didikan dari ibu saja, bahkan ibu saya gila. Jika anda bertanya apakah ini didikan ibu saya? Tentu saja saya akan menjawab iya. Bagaimana? Didikan orang gila yang anda tinggalkan demi wanita lain yang terlihat lebih menggoda. Anda seharusnya sadar, anda mencela, memandang rendah sikap saya. Sama saja anda berucap tanpa kalimat, bahwa anda gagal menjadi orang tua."

"Bagaimana? Didikan wanita gila ini bisa membenci lelaki seperti anda, Tuan. Bahkan sangat membenci."

Plakk.

Tamparan keras mendarat di pipi Haidar, bukannya marah ataupun menatap tajam lelaki di depannya. Haidar justru tertawa dengan sangat puas.

"Bagaimana bisa anda seorang Ayah menampar anaknya sendiri? Menampar seorang anak yang tak pernah di ajarkan tata krama oleh orang tuanya. Tuan, jika saya boleh memilih. Lebih baik saya mati daripada harus hidup dengan masalah serumit ini. Asal anda tahu, bukan hal mudah hidup tanpa perhatian seorang Ibu, tanpa kasih sayang seorang Ayah. Tanpa didikan dan ajaran hal baik dan buruk dari orang tuanya. Apakah anda tahu akan hal itu?"

"Biar bagaimanapun darahku mengalir di dalam tubuhmu, bahkan wajahmu sangat persis denganku, Haidar."

Haidar menghembuskan napasnya panjang, kakinya melangkah ke arah sofa ruang keluarga. Tubuhnya dia dudukkan di atas sofa, dengan mata terpejam air matanya menetes.

"Hanya karena darahmu mengalir di tubuhku anda memanggil saya anak? Asal anda tahu, pelacur yang hamil anak tamu istimewanya, darahnya mengalir juga di tubuhnya. Dia tak pernah mau mengakui jika itu anaknya. Kenapa anda tak berlagak seperti itu? Menganggap saya hanya anak yang tak di inginkan, anak dari kesalahan sebuah hubungan."

"Tapi nyatanya kamu lahir dari sebuah pernikahan yang sah, kamu lahir dari rahim seorang perempuan yang waktu itu masih istri saya." Bantahnya dengan suara pelan.

"Kenapa anda tak menganggap ibu saya seperti pelacur saja? Bukankah lebih baik seperti itu, Tuan Argi Fahridan Mahikam?"

"Maksud kamu apa? Kita suami istri dulu, kita saling mencintai. Walaupun itu dulu."

Haidar tertawa dengan nada sumbang, emosi Argi semakin tak karuan. Di bantah, di buat kesal dan benci oleh anaknya sendiri sungguh tak pernah terbayang di otak Argi. Satu-satunya anak lelaki yang dia harapkan bisa meneruskan perusahaannya, tapi melihat sikap Haidar padanya. 50% rencananya gagal.

T̶h̶e̶ S̶e̶c̶r̶e̶t̶ 𝓗𝓪𝓲𝓭𝓪𝓻Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang