Part 5

2.8K 305 11
                                    


Dentingan pintu cafetaria yang terbuka membuat Bella dan teman-temannya menoleh, mata Bella memanas melihat kedua kakaknya datang dengan wajah khawatir. Reno segera berlari ke arah Bella, saat sudah di dekatnya. Reno menarik Bella kedalam pelukannya.

Marcel yang melihat itu hanya mampu mengusap punggung adiknya, Bella kembali terisak di dalam pelukan kakaknya.

"Kamu kenapa?" Tanya Reno pelan, bibirnya mencium puncak kepala Bella penuh kasih sayang.

"Tangan kamu dingin banget, Bel. Kita ke rumah sakit, ya." Bella hanya menggeleng mendengar ajakan Marcel, dia takut dengan hal yang berbau rumah sakit. Bahkan Bella pernah takut pada Dokter karena Dokter pekerjaannya di rumah sakit.

"Ya sudah ayo kita pulang," ajak Reno, dia melepaskan pelukannya.

Tangannya menangkup kedua pipi Bella, mengusap air mata yang masih mengalir menggunakan ibu jarinya. Bella bukannya berhenti menangis, justru tangisannya semakin kencang. Tatapan lembut dan sorot khawatir yang luar biasa membuat Bella terisak.

"Pulang, mau sayang?" Tanya Marcel, Bella mengangguk dengan lemah.

Marcel dan Reno saling pandang sebelum beralih menatap teman adiknya. Ada banyak lelaki disana, kurang lebih ada lima belas anak. Saat melihat dua gadis yang mereka kenali, Marcel tersenyum lembut. Dia tahu teman adiknya habis menangis.

"Terima kasih sudah menghubungi kami, udah gak usah nangis Bella gak pa-pa." Papar Marcel dengan senyum lembut.

Ririn dan Lila mengangguk, namun ingatan mereka berjalan. Bagaimana tatapan mata kosong Bella, tubuhnya yang mengeluarkan keringat dingin. Di tambah wajahnya sangat pucat

"Kami bawa Bella pulang, ya. Sekali lagi terima kasih," tutur Marcel tanpa melunturkan senyumnya.

Reno sudah menuntun Bella berjalan meninggalkan Cafetaria, Marcel yang sudah melihat adiknya berjalan segera mengikuti langkah kaki kedua adiknya. Tapi saat sampai di depan pintu, teriakan Lila menghentikan langkahnya.

"Tas Bella ketinggalan, Kak." Marcel menarik napasnya panjang, dia segera berbalik dan hendak mengambil tas adiknya.

Iris mata hitam milik Marcel menatap lelaki yang tengah duduk di samping tas adiknya. Tadi dia tak terlalu memperhatikan wajahnya. Tapi saat ini, duda satu anak tersebut memicingkan penglihatannya.

"Kita pernah bertemu sebelumnya?" Tanya Marcel pelan.

"Belum," Marcel hanya mengangguk.

Dia segera mengambil tas adiknya dan berlari kecil keluar Cafeteria, teman-teman Bella menatap Marcel heran.

"Kakaknya Bella ganteng-ganteng," tukas David saat mereka sudah lama terdiam.

"Orang tuanya Bella bibit unggul semua, gak heran kalau anaknya juga unggul." Jawab Ririn.

Haidar beranjak dari duduknya tanpa sepatah katapun keluar dari bibirnya. Teman-temannya yang sudah hafal hanya mengikutinya, ternyata lelaki tersebut memilih duduk di lantai dua.

"Kita pamit ya Ririn," pamit Iyan pada gadis di depannya.

Ririn hanya mengangguk, dia terlalu shock dengan keadaan Bella tadi.

"Salam buat Bella."

~~~

Tatapan khawatir dari Melvi dan Ava membuat Bella tersenyum manis. Dia tahu orang tuanya tengah khawatir dengan kondisinya, tapi dia juga sedih.

"Aku baik-baik saja, Ma." Tukas Bella dengan senyum lembut.

"Apa yang ada di otak cantik kamu, Nak." Gumam Ava pelan.

"Gak tahu, Ma. Aku juga bingung." Ava menatap Melvi cemas.

Senyum lembut suaminya membuat Ava menggeleng pelan, kenapa bisa suaminya sesantai itu.

"Tenangkan diri kamu, berfikir positif terus, sayang." Tutur Melvi lembut.

Ava mengangguk dengan semangat, dia terus mengusap pipi putrinya. Wajah Bella masih pucat, bahkan keringat dinginnya juga masih keluar. Ava dan Melvi sudah tahu apa yang terjadi pada putrinya.

"Ava, biarkan Bella istirahat. Kamu ke kamar,"

Ava menatap suaminya tak terima, mana ada papa yang sangat egois seperti Melvi. Membiarkan anaknya sendiri di kamar dan dia justru ingin berduaan di kamarnya sendiri.

"Pa, kamu mbok ya pengertian sama anak. Lagi sakit juga masih mikir gituan!" Dengkus Ava kesal.

"Otak cantik kamu dari muda isinya kotor semua, ada yang perlu kita bicarakan, Ma." Jawab Melvi dengan tatapan mata tajam.

Bella hanya tersenyum melihat interaksi kedua orang tuanya, memang Melvi dan Ava sudah tak membatasi keromantisan seperti dulu. Jika dulu selalu berjaga tindakan takut Marcel mengikutinya, lalu saat Bella masih kecil. Mereka menjaga ucapan agar Bella tak memanggil orang tuanya hanya dengan nama.

"Mama ke kamar saja, aku gak pa-pa. Lagian mau tidur juga," ujar Bella dengan senyum manis.

Ava menatap putrinya dengan cemberut, dia mengenggam jemari Bella dengan lembut.

"Kamu istirahat ya, Nak. Nanti kita tengok lagi."

Bella menatap kepergian Ava dan Melvi, saat pintu kamarnya tertutup dia baru bisa bernapas lega. Dia memukul pelipisnya denga kencang, pusing di kepalanya bukannya berkurang tapi semakin menjadi.

"Dosa apa yang pernah hamba lakukan, Ya Allah. Sakit banget rasanya." Gumam Bella pelan.

~~~

Gemercik air yang berasal dari kamar mandi mewah di kamar remaja muda membuat pemilik kamar mendengkus kesal. Dia memang jarang ber-ekspresi, tapi dia sering kali mendengkus saat tak suka dengan perlakuan seseorang.

"Dar, pinjem baju, ya." Tukasnya dengan cengiran khas.

"Kapan tobat?" Tanya Haidar.

Tangan besar milik Haidar sibuk memilah baju yang sekiranya masih baru, sepupu sekaligus temannya tersebut mendengkus kesal saat pertanyaan itu selalu menjadi pertanyaan rutin bagi Haidar.

Setelah menemukan kaos yang cocok, Haidar segera melempar kaos itu ke arah Rizal. Tanpa basa-basi, Rizal langsung memakai bajunya. Dengan cengiran khas Rizal menatap Haidar.

"Dar, lo mending kek gue. Melupakan sebiji cewek aja gak bisa," ejek Rizal dengan tangan sibuk menyisir rambutnya yang basah.

"Gue ngejaga apa yang harus di jaga, biar istri gue nanti melakukan hal yang sama." 

Rizal menyugar rambutnya dengan wajah sombong, Haidar yang melihat itu berdecih. Untuk apa di sisir kalau akhirnya tetap di acak-acak, tak berfaedah menurut Haidar.

"Itu kebutuhan, Dar. Lo ngomong gitu karena gak pernah ngerasain, kan?" Tanya Rizal dengan senyum miring.

"Ngerasain nanti, sama bini." Haidar tersenyum tipis membayangkan wajah gadis yang masih bertahta di hatinya.

"Lo sekarang pendekatan aja gak berani, gimana mau jadi bini." Senyum miring milik Rizal di balas lemparan bantal.

"Allah selalu punya cara, lo manusia yang akalnya hanya cetek. Gak berguna!" Rizal terdiam mendengar ucapan sinis Haidar.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Jangan lupa vote dan komen😘 biar semangat nulisnya😉
Terima kasih juga untuk 1K nya. Dukung terus cerita yang saya tulis.
Salam hangat dari author gigi kelinci.🐰

24 Desember 2020.

T̶h̶e̶ S̶e̶c̶r̶e̶t̶ 𝓗𝓪𝓲𝓭𝓪𝓻Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang