Part 21

1.8K 213 13
                                    


Motor cross Haidar berhenti di depan gerbang rumah Melvi, pukul empat sore Haidar mengantar Bella pulang. Tadi pagi dia sudah janji untuk tidak mengantar Bella terlalu malam.

Sebagai lelaki bertanggung jawab, Haidar menepati ucapannya. Karena dia berprinsip orang itu yang di pegang ucapannya. Sekali berbohong atau berdusta, sulit untuk mendapat kepercayaan dari orang lain.

"Wih itu Aunty Bella udah pulang, sama cowok lagi. Aunty Nufa masa kalah ya sama Aunty Bella." Bella yang mendengar ucapan kakaknya hanya menggeleng.

Di depan gerbang memang ada Marcel dan Nufa, tak lupa ada Ardin juga. Keponakannya tersebut sangat menyukai anak dari sahabat mamanya.

"Net, Bella masih kelas 10 aja udah jalan sama cowok. Lah elo. Udah tua gak nikah-nikah." Ejek Marcel.

Bella terkekeh pelan, dia sudah terbiasa mendengar ejekan antara Marcel dan Nufa. Hal tersebut sering terjadi.

"Gue nunggu anak lo gede."

"Kenapa gak sama Papanya aja?" tanya Marcel menggoda.

Bella sudah tak dapat membendung tawanya, saat Marcel dan Nufa bertemu pasti duda dengan gadis tersebut saling mengejek.

"Ogah gue sama bekas!" seru Nufa mengejek.

"Gue lebih berpengalaman dalam hal apapun, Net."

Bella menggelengkan kepalanya pelan, dia lebih memilih mengajak Haidar memasuki rumahnya. Sebelum pulang Haidar ingin berpamitan dulu dengan orang tua Bella. Agar tak di cap buruk oleh Ava Nafiza Azzahra.

"Bell, ajak Kakak kamu masuk rumah sekalian. Ngotorin pemandangan indah komplek ini aja." Ujar Nufa dengan senyum miring.

Bella dan Haidar menggeleng, dua remaja tersebut lebih memilih meninggalkan dua sejoli yang selalu berkonflik saat bertemu.

"Pa, Kak Haidar mau pamit." Ujar Bella saat melihat mamanya sedang menyiram bunganya.

Ava menoleh dan tersenyum manis, sebelum mengulurkan tangannya. Ava menatap Bella dari atas sampai bawah, tujuannya untuk memastikan apakah anaknya ada yang lecet atau tidak.

"Bagus. Haidar, Tante minta maaf kalau peraturan rumah ini membuat mu tak dapat leluasa pergi dengan Bella. Dia anak gadis saya takut kalau dia terjerumus hal-hal kurang baik. Jadi ya seperti ini cara saya melindunginya."

Haidar tersenyum tipis dan mengangguk, "setiap orang tua pasti ingin melihat anaknya bahagia dan tak terjerumus ke dalam sebuah masalah Tante. Saya maklum."

Ava tersenyum sumringah, ternyata Haidar mengerti maksudnya yang sangat baik ini.

"Saya pamit, salam buat Om Melvi." Haidar mencium punggung tangan Ava dengan khidmat.

Dia sudah lama tak mencium tangan sosok ibu di dalam hidupnya. Dan saat melihat Ava, Haidar seakan melihat bayangan ibunya.

"Haidar?" panggil Ava pelan. Haidar yang sudah berjalan menjauh menghentikan langkah kakinya.

Dengan gerakan pelan lelaki jangkung tersebut menoleh, senyum lembut Ava semakin membuat hati Haidar bergemuruh.

"Kalau kamu butuh rumah untuk pulang. Kamu boleh kesini. Kalau kamu butuh pelukan seorang Ibu dan Ayah, saya dan suami saya akan senang hati memeluk mu." Haidar tersenyum manis dan mengangguk.

Pertahanan wajah datarnya runtuh karena ucapan Ava, memang benar dia merindukan sosok orang tua yang sudah lama tak dia jumpai. Sosok orang tua lengkap di sebuah rumah yang sudah lama tak Haidar rasakan kehadirannya.

"Terima kasih Tante," gumam Haidar pelan.

Ava tersenyum dan mengangguk, sebelum semakin runtuh pondasi hatinya. Haidar segera berjalan cepat keluar gerbang. Bella yang sedari tadi tak mengerti maksud mama dan kakak kelasnya hanya mampu menggaruk kepalanya.

Dia benar-benar tak mengerti dengan mereka semua, kenapa Ava berkata seperti itu. Dan kenapa pula reaksi Haidar tak seperti biasanya.

"Ma, emang orang tua Kak Haidar kenapa?" tanya Bella menatap Ava dari samping.

Ibu hamil tersebut menoleh dengan senyum miring, dia membuang selang airnya ke atas rumput. Dengan senyum khas Ava menarik Bella untuk memasuki rumah.

"Gak ada apa-apa, jangan kecewakan Haidar, Nak." Bisik Ava pelan.

Semakin di larang dan ada rahasia di antara mereka, semakin membuat jiwa keingin tahuan Bella memuncak. Dia orang Indonesia asli, saat di larang justru di lakukan, saat di suruh ogah-ogahan.

"Aku akan mencari tahunya sendiri," gumam Bella pelan.

Ava yang mendengar gumaman Bella hanya menggeleng pelan, dia tahu kalau anaknya gampang ingin tahu. Ava tak pernah mempermasalahkan rasa ingin tahu Bella.

~~~

Note piano yang di tekan secara asal membuat sang pemiliknya memekik dengan geram. Adik perempuannya ingin belajar bermain piano, dan Marcel sebagai kakak yang baik tentu meminjamkan ruang musiknya kepada Bella.

Namun di lihat dari cara Bella bermain, Marcel yakin sebentar lagi alat musiknya akan rusak. Bella memang tak ada bakat di musik sama sekali, namun untuk suara. Dia lumayan bagus, mungkin menurun dari sang ibu yang di zaman mudanya juga memiliki suara bagus.

"Di lihat buku yang ada di depan mu dong, Bel. Jangan asal nekan nya!" seru Marcel gemas dengan adik perempuannya.

Bella hanya tersenyum dan mengangkat jari telunjuk dan jari tengah sebagai simbol damai. Marcel yang notabennya sangat menyayangi Bella harus mengulur kesabarannya.

"Kamu gak ada bakat di piano," Marcel menyandarkan tubuhnya pada badan piano. Sedangkan Bella yang duduk di depan tut piano menghela napasnya panjang.

Memang dia merasa tak ada bakat di bidang piano, dan dia rasa semua alat musik juga. Bella ingin belajar bermain gitar, hanya saja Marcel tak mengizinkan.

Marcel sangat menyayangi Bella, namun penyanyi berusia dua puluh enam Tahun tersebut juga sangat menyayangi gitar-gitarnya. Dua hal tersebut sama beratnya menurut Marcel.

"Terus aku nyanyi doang? Aku mau nilai lebih, Kak." Bella menarik lengan kakak tertuanya dengan wajah di tekuk.

"Kamu minta di ajari Kak Reno saja, dia mahir di bidang drum."

"Yah, kalau drum gimana mau akustik coba. Gak enak banget jadinya!" keluh Bella.

Marcel tersenyum tipis, dia menundukkan tubuhnya agar lebih dekat dengan Bella. Bella menaikan sebelah alisnya, namun dia juga mendekat agar Marcel lebih mudah menjangkaunya. Padahal dia tak tahu apa yang akan di lakukan kakak pertamanya.

"Hah?! Enggak! Aku gak mau," tolak Bella saat Marcel selesai berbisik.

Decakan keras keluar dari bibir Marcel, duda tersebut memilih duduk di sebelah adiknya. Dia akan mendoktrin otak Bella agar mau melakukan hal yang di perintahkan nya.

"Bel, anak remaja tanpa cinta bagai taman tak berbunga. Kayak pemakaman." Ujar Marcel menggebu.

Bella memutar bola matanya malas, dia sudah sering mengira jika Marcel memintanya untuk mencari kekasih. Namun Bella selalu menolaknya dengan dalih tak siap sakit hati.

"Lebih baik kehidupan di masa muda layaknya pemakaman yang sepi, nyaris tanpa cinta. Tapi di hari tua bahagia dengan usaha dan lelaki terbaik yang kita pilih secara detail. Daripada muda hidupnya penuh bunga tapi tua menderita, hidup layaknya di pemakaman. Aku gak mau!"

"Kamu kok pinter banget bantah kayak Mamaku sih, Bel. Kamu masih keturunannya juga, ya?" Bella menoleh dan menatap Marcel tajam. Kenapa di saat gadis muda tersebut serius Marcel tak dapat serius.

Menjengkelkan sekali.

~~~

Jangan lupa vote dan komen,😘
Salam hangat dari author gigi kelinci.🐰

23 Januari 2020.

T̶h̶e̶ S̶e̶c̶r̶e̶t̶ 𝓗𝓪𝓲𝓭𝓪𝓻Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang