Mellisa mengetuk-ngetukkan jari-jarinya di atas meja. Sudah setengah jam dia berpikir keras tentang pilihan gaun pengantinnya. Belum ada satupun yang berhasil memikat hatinya.
"Begini aja, kalau masih belum yakin juga, gimana kalau konsep pestanya juga diubah?" Tanya si designer.
"Tapi Saya belum bilang ke Bastian, gak mungkin konsep Saya tentukan sepihak."
"Tapi ini sudah seminggu, mbak. Dan pilihan bajunya belum juga dapat. Kami khawatir nanti waktunya gak cukup menjelang acara."
Mellisa menghembuskan nafas berat, bingung dipaksa memilih.
"Kami sudah tunjukkan semua katalog. Dan hanya beberapa pilihan yang tersisa. Itupun kalau mbak sudah pick satu yang sesuai selera. Tempo hari kami juga sudah beritahu mas Bastian tentang perubahan konsep."
Mellisa mengerang. Hatinya jadi panas diingatkan tentang Bastian. Sudah 2 kali dia datang ke tempat ini tanpa ikut Bastian. Pria itu sering sibuk dan mengeluh butuh waktu lembur.
Si designer mulai menarik nafas lagi, "Oke, ini adalah pilihan terakhir kita untuk mbak." Katanya menunjukkan 3 pilihan terbaik dari katalog.
Dan Mellisa hanya menghela nafas menyesal. "Maaf ya, Saya benar-benar bingung..." Dia mengerang penuh penyesalan. Dengan wajah tertunduk yang menahan tangis, Mellisa berharap bisa meredakan gejolak hatinya. Dia sendiri juga bingung.
Dia cuma butuh dampingan Bastian. Tapi pria itu lagi-lagi bilang sibuk.
Mellisa meninggalkan ruang W.O. dengan merasa bersalah. Harusnya dia cukup tentukan satu pilihan gaun saja, setelah itu pulang. Dan semuanya beres.
Kembali ke apartemennya, Mellisa duduk berselonjor di sofa dengan cemas. Setelah memutuskan pindah ke apartemen baru menjelang pernikahan, kini Mellisa bisa lebih leluasa mengetahui Bastian. Sebab tak perlu repot baginya untuk menyetir jauh lagi, apartemen mereka berada bersisian.
Menjelang malamnya, Mellisa menyiapkan pasta untuk makan. Dia berharap bisa membawa pasta ini nanti setelah Bastian pulang. Tapi bahkan sudah hampir jam setengah dua belas, Mellisa hanya menemukan apartemen Bastian kosong.
"Bas..?" Panggilnya sambil memegangi piring.
Pelan-pelan Mellisa masuk ke dalamnya. Ini juga sudah jadi kebiasaannya. Mellisa dapat masuk ke dalam apartemen Bastian atas izin pada pihak developer.
Sesudah meletakkan piring itu di meja makan, Mellisa kembali menekan nomor Bastian.
"Nomor yang anda hubungi, sedang sibuk. Cobalah bebe-"
Sebelum suara operator berhenti, Mellisa telah memutus sambungannya. Ini sudah ke enam belas kalinya, panggilan darinya tidak terjawab.
Hati Mellisa makin gusar. Dia bukan cemas. Tapi sakit hati atas sikap Bastian yang berubah cuek.
Duduk di depan meja makannya, sambil memandangi pasta hasil masakannya, Mellisa merasakan matanya perih lagi. Rasanya ini perasaan yang paling dia benci seumur hidup, yaitu diabaikan.
Tak tahan menahan sesak di dada, Mellisa pun menangis. Dia menyuap pasta hasil masakannya sambil menangis. Seperti menelan batu dalam tenggorokannya, begitulah perasaan Mellisa.
"Sayang... kamu dimana? Kenapa-kamu gak angkat-teleponku? ... Aku tungguin kamu di apartemen loh-aku rindu kamu seharian ini. Kamu-hubungi aku kalau-udah terima voice note ini ya?" Mellisa bicara di depan ponselnya, kemudian mengirim pesan suaranya dengan bicara yang tersendat-sendat.
Mellisa telah menyantap pasta itu habis. Wajahnya kusut dan dia mulai kalut. Sudah pukul 1 dini hari. Pria itu belum kembali juga.
Karena mengantuk, Mellisa tertidur di sofa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prime Project
RomanceNOVEL DEWASA. 2020. Qeryana Grail. Indonesia. Copy Rights. Mellisa Subroto berusaha bisa mewujudkan pernikahan impiannya. Gaun yang cantik, dandanan memukau, pasangan tercinta, juga janji sehidup semati. Lalu waktu itu datang, ketika pria yang dicin...