Bab 6.

2.8K 190 15
                                    

Minggu pagi. Terasa cerah, bersemangat dan jangan lupakan masalah antara Alfred.

Titik paling menjemukan ketika pasangan minta maaf. Demi apa memangnya pria suka rela datang malam-malam ke rumah?

Masih saja merenungi dan kasihan pada Alfred, sambil duduk ku sesap es milo jagung di piring ku.

"Katanya mau dikasih ke Alfred, kok malah belum kemas, sih!?" Mama muncul dari belakang.

"Sebentar lagi." Jawab ku malas.

Malas membahasnya, malas mendengar nama Alfred, dan malas berkemas-kemas.

"Kalo jam segini masih duduk disini, mending kamu antarin Mama. Cepetan."

"Ho." Desus ku.

"Bilang Mama Ratna ke rumah, ya?"

"Jangan dulu deh, Ma."

"Loh, kamu ini kenapa sih? Bukannya minggu depan acara bukaan ya?"

"Bukaannya ditunda dulu deh. Mellisa masih nyusun proyek baru."

"Hmm... Katanya kamu dipecat?"

"Ha!?" Aku terlonjak kaget. Hampir menjatuhkan sendok. Darimana pula Mama tahu tentang itu?

"Udahlah... Mama itu tahu banget tentang kamu, Mel. Termasuk perang dingin sekarang sama Alfred. Katanya kamu buat gaduh di ulang tahun sepupunya."

Jadi, Mama panjang lebar mulai mengulik. Alhasil, aku malu sendiri. Harusnya kan bisa jujur sendiri tanpa harus ada Alfred yang menyampaikan.

"Umm, maafin Mellisa Maa..." Aku buru-buru memeluknya. "Aku takut mau cerita." Kataku.

"Giliran kek begituan kamu malah main rahasia sama Mama. Mama tuh bingung deh, sebenarnya kamu sama Alfred ini serius gak sih? Udah mau hari H malah kucing-kucingan gini. Sana berkemas!"

Aku cemberut beberapa menit. "Lagian siapa suruh kasih hadiah sama si kupret itu." Sahut ku.

"Si kupret siapa?"

"Ya sepupunya itu lah! Gara-gara dia Mellisa dipecat. Untungnya si kupret itu mau negosiasi dan minta maaf dengan Pak Jono. Huh."

"Jadi kamu dipecat gara-gara Bastian?"

"Kok Mama bisa tahu?" Aku mendelik spontan.

"Ya Mama baca kartu yang dibawa Alfred kemaren. Ketinggalan di meja ruang tamu. Udah sana, kemas!"

Bukannya berkemas, aku malah mengicir cepat ke ruang tamu. Tentu saja mau mencari undangan yang dimaksud Mama.

Begitu ketemu diantara tumpukan majalah, aku segera membawanya ke kamar.

Sebastian Pangeran Dermawan.
Cucu dari Oei Wie Gwan.

"WAT!!!" Aku menjerit spontan. Rasanya bola mata ku lepas dan terjatuh ke lantai.

Aku pasti salah baca. Pasti salah baca. Ulang, ulang.

"Cucu dari Oei Wie Gwan, Hiiii!" Kata ku berbicara sendiri. Merasa takjub dengan bacaan ku.

Jadi ini alasan Alfred mengosongkan ATM? Demi si cucu orang terkaya ini?

"Mel! Udah belum berkemasnya!?" Teriakan Mama membuat ku segera pangling dan segera berkemas.

Oke, simpan nanti fakta menarik itu.

~~~

"Kamu mau kapan lagi kembali gereja, Mel? Sudah mau nikah tapi memuji Tuhan pun masih lupa."

Prime ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang