Bab 1.

6.6K 277 17
                                    

"Halo, Alfred, kamu dimana yang?"

"Sori-sori, masih ada janji ketemu klien nih." Alfred terdengar kasak kusuk diseberang. Meyakinkan setiap yang mendengar ada sesuatu yang sedang terjadi.

Aku memandang gelisah di jam tangan ku. "Ini kan makan malam keluarga Fred? Kamu lupa?"

"Duh, sori yang, ini klien galak, you know kan, dia sedikit sensitif tentang resechedule."

Bagaimana bisa Alfred mementingkan klien dibandingkan janji makan malam dengan calon mertua nya? At least dia ingat punya janji makan dengan ku. Aku mulai mendengus sebal.

"Kamu benar-benar Fred." Akhirnya ku tutup telepon dengan kecewa.

Tidak ada panggilan masuk balik dari Alfred. Ya begitulah kira-kira setiap kali aku mengalah dengan alasan klien nya.

Dengan hati sudah mengeras karena dongkol, mau tidak mau aku keluar dari kamar untuk menemui semua yang sudah di meja makan.

"Gimana, Alfred nya jadi datang?"

"Dia batal datang, Ma." Sahutku lemas.

Mama cuma seperti ibu kebanyakan, menghembuskan nafas seolah sudah menduga dari awal.

"Katanya klien dia udah jauh hari appointment." Dengan tambahan kalimat begitu, Papa yang duduk sedari tadi jadi ikut mengeraskan dagu.

"Yasudah mau bagaimana lagi. Makan saja."

Aku mengambil duduk di sebelah Mama. Meski berselera dengan hidangan lauk sambal udang gala, tumis manis tempe dan beberapa lainnya, tetap saja aku dongkol.

"Harusnya Alfred bicara kalau tidak bisa datang, Mel." Papa tiba-tiba bicara.

Aku melihatnya sambil tetap mengunyah. Sedikit banyak aku paham kekecewaan Papa.

"Sudah gak papa. Jangan dibahas. Toh ini juga gak paksaan."

Aku melihat Mama. "Maaf, Ma." Akhirnya aku mengatakan itu. Tentu saja itu tidak menghibur.

Oh ya, ini adalah makan malam yang memang digelar oleh Mama. Rencana mengundang Alfred sebenarnya tidaklah ada. Namun aku saja yang secara spontan mengajak dan pada akhirnya cuma kecewa.

"Kamu sudah bilang Alfred tentang tempatnya kan, Mel?"

Maksud Mama adalah gedung yang akan dipakai menggelar resepsi.

"Oh, iya." Jawab ku tersenyum pendek.

"Kali ini gak ada sponsor ya?"

Aku melihat Papa. Wajah ku jadi cemberut. "Kok sponsor sih, Pa?" Gerutu ku.

"Siapa tahu kamu sama Alfred dapat sponsor tiket perjalanan bulan madu." Sambungnya sekenan.

Aku tersipu. Memikirkan bulan madu membuat ku tentu saja terbayang dengan satu tempat yang sejak dulu sudah ku idam-idamkan.

Lauterbrunnen, Swiss. Oh, jangan lupakan pesonanya tentang pegunungan dihiasi salju!

"Sponsor kali ini dapat dari Papa ya?" Bujuk ku begitu selesai makan. Sambil menggelayut manja dipundaknya tentu saja. Jangan kira di usia seperti ini, aku tidak bermanja-manja dengan sosok kebapakan David Subroto. Dia pria pertama tempat ku jatuh cinta, Papa.

"Hmm, kalau begini pasti ada maunya?" Sambil melihat Mama, Papa menerima pelukan ku dipundaknya.

"Jangan manja-manja lagi! Sebentar lagi sudah punya suami, sama Alfred manja-manjanya!"

Aku mencebik. "Bilang aja Mama cemburu, hm?"

Papa memperbaiki duduknya dan menyudahi minum. "Kamu bisa beli tiket sendiri, masih minta dari Papa mu?"

Prime ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang