Bab 3.

4.1K 216 12
                                    

Kata orang, takdir ditentukan oleh sang Pencipta. Dan jika dihitung berdasarkan penanggalan romawi, harusnya hari ini aku tetap mengarungi kesibukan sebagai Mellisa Subroto.

Ditanya siapa saja, mereka akan menjawab jika pemilik nama Mellisa Subroto beruntung punya mata yang jeli pada detil kecil deret angka. Sebut saja kalkulasi kerja yang dimulai pukul delapan sampai petang jam enam sore.

Juga kesenangan mereka pada rambut keriwil-keriwil kecil dibawah panjangnya. Eksotisme ku bertambah sepuluh kali lipat. Sangat cocok direkrut perusahaan sebesar Sedjiwa Rakyad.

Namun hari ini, semuanya nihil. Pujian cantik itu terdengar hambar kala pagi ini sang empunya nama tidak beranjak dari tempat tidurnya.

"Mel?"

Tok tok tok

"Mel?"

Sekali lagi bunyinya dari luar. Aku mengerang memijat kepala yang terasa nyut. Ini tanggal berapa sih?

"Mel, bangun, gak kerja apa?" Suara Mama lagi seperti biasa.

Nope. Mama tidak boleh tahu jika hari ini pekerjaan ku lenyap ditelan dunia.

Aku memutar badan malas. Ku eratkan bantal ke telinga untuk mengusir suara ketukan pintu yang terdengar semakin kuat.

"Bangun, Mel! Astaga."

Biarkan saja Mama mendumel, jangan sampai mata bengkak begini harus dia tahu juga.

Suaranya sudah hilang. Berganti keheningan yang membuat ku lega. Nyeri dada karena pemecatan semalam membuatku syok dan nangis berguling-guling.

Memangnya salah ku dimana? Mengapa jadinya harus berakhir sebagai pengangguran begini?

Panggilan masuk Alfred membawa kesadaran ku dengan cepat. Aku duduk dan menerima teleponnya.

"Kamu sibuk yang?"

"Enggak. Kenapa?" Aku menyentuh leher ku, merasa suara ku terdengar aneh dan parau. Pasti ini karena menangis semalaman.

"Suara kamu jelek banget, kamu lagi dimana sih? Buang air?"

See? Alfred menganggap suara itu bahkan suara kesibukan panggilan alam.

Aku tersenyum kecut. Bangkit tiba-tiba dan berkaca. Sungguh ini bukan wajah yang ku lihat dipagi hari selama bekerja di kantor.

"Oh, eh, enggak. Lagi pilek, jadi suaranya tukar. Kamu ih." Ku ingsut pilek seolah membenarkan pernyataan ku. Tapi itu tidak bohongkan? Aku juga pilek saat menangis!

"Ada mepet banget nih, gak sempat buat keluar. Kamu gak papa belikan kado buat sepupu ku gak?"

"Oh, uhm, kado ya? Emm..." Aku bergumam sendirian. Cari kado disaat patab hati begini apa bisa ya?

Dan akhirnya aku setuju. Mungkin aku butuh hiburan sendirian di mall. Kata Alfred aku harus beli pakaian seolah itu pakaian untuk Alfred. Apa susahnya sih mengatakan itu jika kado untuk laki-laki?

"Kamu tumben gak kerja? Kamu sakit, Mel?" Aku muncul di dapur saat mau mengambil susu.

"Engga, Ma. Pak Jono keluar negeri. Jadi aku off."

Mama tidak bertanya lagi. Dia juga tidak melihat mata ku. Dampak menggunakan kaca mata juga besar. Setidaknya mata sembab bisa bersembunyi dibalik bingkainya.

Ku teguk susu dengan cepat, menghindari lama-lama di rumah. Seperti kalian tahu, insting seorang Ibu sangat kuat.

Jangan sampai Mama menemukan kecurigaan tentang mata sembab ini! Jangan!

Prime ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang