Bab 33.

1.4K 109 7
                                    

"Mell, aku cinta kamu..."

"Kalau gitu kamu lari, hmm..."

"Jangan kak, jangan..."

"Jangan Bash, jangan."

Fredrick menyentuh payudaranya cepat, meremasnya kasar.

Bastian menyentuh payudaranya perlahan, meremasnya lembut.

Mellisa syok, spontan menjerit.

Mellisa tertegun, spontan melenguh.

"Tolooong!"
Fredrick mundur dengan cepat, lari karena ketakutan.

"Bash..."
Bastian maju lebih rapat, mendorong badan mereka ke lemari.

Mellisa menangis, kakak kelasnya yang paling dia cintai melecehkannya.

Mellisa menutup mata perlahan, Bastian-pria yang paling dia benci-membangkitkan hasratnya.

Buah dada Mellisa mengencang dan membusung. Telapak tangan Bastian masih disana, mengusapnya disatu sisi, membuat titik paling sensitifnya mencuat.

Ini sentuhan pria pertamanya. Begitu intim, erotis dan mendebarkan.

Bastian tertegun dengan geliat Mellisa. Harusnya wanita itu lari saja, menamparnya lagi, atau menjerit. Tapi sepertinya, "Mell?"

Mellisa berdebar, dadanya kembang kempis, dia tidak berdaya. Dadanya digerayangi tapi kaki dan mulutnya terkunci.

"Maaf..." Bastian mendadak mundur. Menarik tangannya yang terlanjur lancang.

"Bash..." Mellisa benci, dia marah. Kenapa harus pria ini berhenti sekarang setelah dia menikmati sentuhannya?

"Aku akan keluar." Bastian berucap. Dia menarik asal kaus dalam lemarinya dan memakainya cepat.

Mellisa sudah berkabut, dan pria itu malah berhenti!

Jangan sekarang, Bastian juga frustasi.

Pintu kamar Bastian sudah bertutup, meninggalkannya masih berdiri mematung di depan lemari pria itu. Mellisa menghembuskan nafasnya lega, pandangannya mengedar ke seluruh kamar.

Bastian tadi melecehkannya!

Mellisa berkedip, menyentuh dadanya dan mencoba menemukan sensasi yang sama saat disentuh. Tapi tak terjadi apa-apa. Jantungnya tidak berdebar, putingnya tidak mencuat seperti tadi, dan dia tidak menikmatinya.

Selama 28 tahun ini, mengapa dia baru sadar sekarang jika dia membutuhkan sentuhan pria dewasa?

~~~

Bastian duduk gelisah di sofanya. Dia bisa saja melanjutkan yang tadi. Tapi dia tak bisa, ini semua karena wajahnya yang sedang sakit dan dia terlalu putus asa dengan keadaannya sekarang.

Mereka saling berpandangan ketika Mellisa sudah keluar dari kamarnya. Dia terlihat linglung dan tanpa ekspresi.

Mungkin wanita ini siap untuk menghajarnya lagi.

"Aku bisa jelaskan yang tadi."

Anehnya, Mellisa mengabaikannya. Dia berlalu sambil terus berjalan ke dapur. Kenapa wanita ini cuek setelah peristiwa dikamar tadi?

Mellisa membuka kulkasnya, mengambil sekaleng minuman dingin. Dia butuh penyegar.

"Kamu memang suka melampiaskan marah dengan minuman begitu ya?"

Prime ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang