Bab 66.

1.2K 100 3
                                    

Musim gugur mulai terasa di sepanjang kota London. Baru saja Mellisa keluar dari halaman gedung rumah sakit. Dia merogoh sakunya dan menatap kosong telapak tangannya. Satu-satunya yang dia bawa hanyalah dompet kosong berisi secarik kertas nama apartemennya. Juga selembar passport dan visa. Dia benar-benar tak punya apa-apa.

Matanya tiba-tiba memanas ingin menangis. Inilah kesialannya dalam hidup.

Dia, benar-benar tidak bisa apapun di dunia tanpa Sebastian.

Dengan mengeratkan sweter outer yang kemarin dia pakai, Mellisa memandang jalan di depannya dengan bingung. Entah kemana dia selanjutnya mengambil tujuan.

Tidak ada taksi dan commuter yang melintas. Itu menambah kepanikannya selepas pulang dari rumah sakit.

Harusnya dia mati saja. Air matanya terlanjur keluar lagi. Kalau sudah begini, dia pun tak bisa berbuat apa-apa lagi.

Dan dia tersungkur ke tanah, menangis kebingungan. Semua karena Bastian tak ada disisinya.

"Bas kamu liat aku sekarang begini gak sih!" Rutuknya sesengguk.

Tak ada pula yang peduli padanya. Mellisa benar-benar seperti orang gila.

"Anything happen, Mam?"

Seolah kedatangan malaikat, Mellisa menengadah dengan iba. Dengan tertatih dia berdiri. Dengan cepat dia mengeluarkan secarik kertas dari dompetnya.

Si pria bertopi itu ternyata bersama sepeda kuningnya. Sekarang Mellisa berjanji akan punya kendaraan sendiri saja. Jadi saat dia berada dalam kondisi seperti ini, dia bisa pergi kemanapun.

"Please, please, I want to back home, please..."

"Let me took you there."

Mellisa dengan sumringah naik ke belakang bantalan sepeda.

Entah kemana 'malaikat' itu akan membawanya, Mellisa pasrah. Dia hanya ingin pulang.

Mellisa tidak menunggu lama untuk tahu tujuannya. Dia dibawa ke sebuah stasiun kereta api.

"You can go back by this train."

Mellisa mengangguk-angguk, tersenyum senang mengetahui dia teringat pada stasiun ini. Disinilah dia pingsan. Dan wanita yang tak dia kenal membawanya ke rumah sakit. Untung saja pingsan tidak membuat ingatannya hilang.

"Thank you, thank you, thank you."

Si pria cuma tersenyum lantas pergi. Sebelum kereta api benar-benar berangkat, Mellisa naik.

Dan hampir menghabiskan sejam perjalanan untuk dia bisa kembali.

Sambil memandangi lewat jendelanya, Mellisa mengambil kembali catatannya.

Dasar bodoh, pengecut, brengsek, aku benci sekali!

Maaf aku memaki pada awalan catatan ini. Tapi aku tidak bisa menahan kemarahan ku lagi.

Sekarang aku sedang duduk di sebuah kereta api. Aku merasa berutang untuk melanjutkan cerita ini. Aku sudah berjanji untuk menyiapkannya sampai aku memberi tahu kalian mengapa Bastian menghilang.

Lihat jalanan ini, daun-daun jatuh seolah mengejek kepada ku. Pertama sekali aku datang ke tempat ini, mereka tampak berayun melambaikan diri. Sekarang, seolah dedaunan pun tahu Bastian tidak bersama ku.

Aku mau gila, aku mau mati saja. Tapi bodoh, apa yang ku katakan! Maaf, aku tidak sengaja. Aku sangat labil, kalian tahu.

Aku benar-benar tidak bertahan. Bulan ini aku harus menemukan Bastian.

Prime ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang