Bab 27.

1.5K 113 13
                                    

Jalan-jalan siang yang menyenangkan bagai satu keluarga bahagia berhasil Riko dapatkan hari itu. Walau cuma anak TK kelas kecil, dia suka mengadu pada Bastian untuk dicarikan Ibu. Kalau dia bertanya kemana Ibunya, Bastian pasti menjawab sudah berpulang ke rumah Tuhan.

"Tanteh, tanteh, aku haus." Ujar Riko tiba-tiba.

"Oh, oke, sebentar. Kayaknya aku masih punya air minum. Sebentar." Dia bergerak pelan meraih sebotol air di sekat kecil samping pintu mobilnya.

"Aku bawa air minum Riko di tasnya, Mell." Tambah Bastian.

Tadi sesuai kesepakatan, Mellisa akan bawa Bastian kembali ke kantor untuk mengambil mobilnya. Setelah itu mereka bisa berpisah dan dia pulang ke rumah.

"Tanteh, aku mau susuh." Tolaknya menggeleng.

Bastian menoleh, "Riko minum air putih dulu ya. Papa lupa bawa botol susunya."

Mellisa memilih bungkam namun berusaha memberi pengertian lewat tersenyum. Walau ini bukan pengalaman pertama menghadapi anak-anak, tentunya karena Mellisa pernah berhadapan dengan anak dari kakaknya, tetap saja dia kikuk di depan Bastian menghadapi Riko.

Riko menatap kecewa botol mineralnya tapi tetap meneguk isinya dengab dibantu Mellisa.

"Makasih Tanteh." Ucapnya bijak.

"Sama-sama." Mellisa mengelus pipinya.

Walau baru seumur balita, Riko jelas beda dari anak seusianya. Dia mengerti mengucapkan hal sederhana seperti tadi. Seperti banyak orang tahu, anak balita belum mengerti kapan seharusnya mengucapkan terimakasih kecuali atas dorongan orang tua atau pengasuhnya.

Karena sering melirik jam tangannya, Bastian mencoba membuka topik pembicaraan. Apalagi Riko sudah mulai pulas tertidur. Riko memang cepat bosan kalau perjalanan mulus seperti ini. Dia segera tertidur karena tidak tertarik oleh lintas mobil yang cepat di jalan tol. Apalagi perjalanan mereka ditemani musik klasik yang pelan.

"Riko bukan anak ku, Mell." Tiba-tiba Bastian berkata.

Mellisa segera menoleh, "Apa?"

"Riko menganggap ku sebagai papanya."

"Oh..." Syukurlah. What?

"Kamu gak senang juga?"

"Maksud kamu?"

"Aku tahu kamu kecewa mendengar Riko memanggil ku kayak tadi, kan?"

Mellisa menaikkan alisnya sebelah, lantas tertawa sebentar. "Kamu gak waras, Bas. Kamu terlalu mengada-ada."

"Oh ya? Mungkin karena aku teringat ajakan Riko buat kamu supaya bisa main kuda-kudaan, hmm?"

Wajah Mellisa menyemburat merah, namun bungkam saja.

"Apa kabar Alfred?" Bastian mengubah pertanyaan. "Atau bagaimana hari pertama pernikahan kalian?"

"Kami baik-baik aja, Bas." Terang Mellisa pendek. Nadanya lemah dan suaranya pelan. Dia enggan menjelaskan lebih panjang tentang dirinya kalau dia merasa kurang baik-baik saja.

"Baguslah." Jawab Bastian pendek.

Sisa perjalanan itu mereka terdiam. Mengingat dia dan Bastian masih terlibat masalah tempo lalu, yang lagi-lagi sulit Mellisa lupakan. Seminggu sebelum pernikahannya digelar, Bastian menciumnya ditaman.

"Aku masih berharap kamu mau balik bergabung ke proyek ku, Mell."

"Tentang itu, aku akan lunasi sisa ganti rugi kontrak proyek dengan cepat, Bas."

Mereka telah sampai di parkiran, namun keduanya masih belum ada yang beranjak untuk turun.

"Kenapa kamu selalu jawab aku ketus?"

Prime ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang