Bab 69.

2.3K 87 7
                                    

Hai, apa kalian masih mengingat ku?
Apakah kalian masih menunggu cerita ini?

Tolong jangan mengecewakan ku, aku ingin kalian menunggu ku.

Catatan ini gamblang. Aku tidak tahu harus mulai darimana. Mungkin karena dipengaruhi ketidakberesan pikiran yang akhir-akhir ini sering terjadi padaku. Mungkin juga karena kondisi mental ku sedang tidak bekerja baik. Atau bisa jadi, aku tidak siap mulai menulis semuanya. Karena aku tidak ingin ingat apapun sejak bulan madu telah berakhir dan udara Jakarta terasa mencekik leherku.

Apa kalian bisa melihat perut ku yang sudah semakin membuncit?
Ya ampun, aku lupa mengatakannya! Ternyata sudah lama sejak aku berhenti menuliskan cerita ini lagi.

Saat aku menulis ini, Sebastian telah bersama ku. Dan sebelah tangannya berada di atas perut ku. Dia tampak mengagumi bentuk perut seperti ini.

Keindahan terbesar dalam hidup setiap wanita adalah kehadiran nafas baru dalam dirinya. Dan terimakasih untuk setiap cinta yang mewujudkannya. Semoga kalian juga ikut bahagia.

Telah berlalu lamanya sejak aku dan Sebastian kembali ke Jakarta.

Sungguh, aku ingin menangis.
Tapi aku takut membangunkannya. Jadi aku akan coba menangis dalam diam saja. Agar dia tidak tahu.

Ketika itu...

Aku tidak tahu mulai dari mana. Ya tuhan, air mata ku tidak tahan lagi. Siapa kira menangis tak bersuara bisa lebih enteng?

Sesuatu terjadi.
Aku hampir gila karena ini.

Aku telah menemukan sebuah kertas dalam koper. Ya tuhan, tangan ku bergemetar lagi... Aku tidak ingin membangunkan Sebastian... Ayolah hati, tahankan tangisan mu!

Sebastian bergerak. Dia mulai memajukan kepalanya di pangkuan ku. Nafasnya begitu berantakan. Mungkin dia tak nyaman. Aku tahu kegelisahannya.

Sampai dimana cerita ini?

Jakarta!

Kami memutuskan untuk tinggal di salah satu hunian. Kalian tahu, Sebastian mendirikan sebuah rumah surga. Disini adalah tempat ternyaman. Dia sangat memenuhi ku lewat setiap cintanya. Perhatiannya melengkapi hidup ku.

Entah apa yang harus ku katakan pada bayi ini kelak?
Atau entah bagaimana aku harus mengatakan kepada diriku untuk kuat?

Hari-hari telah berlalu dengan cepat dan tak satupun kesakitan Sebastian tampak di luar dirinya. Aku ingin mencolok mataku yang tak pernah bisa melihat setiap kesakitannya. Dia terlalu tegar untuk sakit.

Apa dia sangat mencintai ku?
Apa aku punya kesempatan untuk ikut ke tempat dia akan berakhir?
Apa Sebastian memang telah menyiapkan perpisahan tolol semacam ini?
Apa dia bahkan berpura-berpura dalam hidup ini?

Ya tuhan nak, kau tak boleh tahu bagaimana ayah mu begitu pecundang.

Sebelum saat ini terjadi, aku menyempatkan waktu ku.

Di siang kota Jakarta, aku pergi ke sebuah tempat yang tak pernah siapapun tahu selain kalian pembaca.

Itu adalah pemakaman.

Aku membawa sebuket mawar. Aku tak tahu mengapa aku malah membawa mawar kepada seseorang yang telah tiada.

Jadi aku berkata kepada dirinya.

'Halo, Pa. Halo Papa Fandy... Saya Mellisa. Maaf Saya lancang datang ya, Pa? Titip Sebastian ya, Pa.'

Aku mencium mawar itu sebelum meletakkannya. Aku duduk sesaat sebelum menangis.

Ditangan ku telah ku bawa sebuah kertas. Ku remas kuat kertas itu dalam tangan ku seolah kemarahan ku tersimpan disana. Ku puaskan menangis supaya dia tahu bahwa aku benci pada kedatangan ku ke tempat ini.

Tapi bukankah setiap tujuan akhir manusia adalah tempat ini?

Jantung ku begitu sakit saat aku menyentuh sebuah ukiran nama itu.

Aku kembali melanjutkan pengaduan ku kepadanya.

'Pa, kalau Sebastian sudah disana nanti, Papa jaga Sebastian ya? Mellisa pasti jagain cucu Papa juga.'

Persetan dengan langit di atas sana. Mengapa juga aku harus berbicara seperti orang gila saat itu? Yang ku tahu, perasaan ku lega saat berada disana. Keheningan semacam itu mungkin akan menemani hari-hari ku nanti, tanpa Sebastian.

'Pa, ini cucu keluarga Dermawan. Doakan Mellisa supaya kuat ya. Mellisa gak mau sendirian, Pa... Mellisa mau Sebastian juga ada saat lahiran...'

Pandangan ku silih berganti pada deretan makam yang cuma berjarak semeter dari ku. Aku tahu tempat itu.

Aku tahu tempat itu.
Aku tahu persis tempat itu.

Sesengguk semakin kuat. Sepertinya memang aku tidak takut menangis kencang kali ini. Karena ku pikir tak ada siapapun disana. Jadi aku bebas menangis sekuatnya.

Jadi jujur saja, siapa yang suka pada kematian seseorang yang begitu kita cintai?

Setelah alam mempertemukan mu, tapi perpisahan akhirnya terjadi.

'Tahu gak sih Pa, Sebastian selalu bercerita kalau orang terhebatnya itu Papa Fandy? Tahu gak kalau cucu Papa nanti bakalan dia kasih nama Papa Fandy juga? Papa sayang banget ya sama Sebastian sampai harus misahin kami? Gak bisa lebih lama lagi ya ditahan supaya cucu Papa bisa lihat Papanya dulu? Mell juga pingin Sebastian ada, Pa... Mell gak bisa pisah dari anak Papa...'

Kalimat-kalimat itu meluncur saja dari mulutku. Mungkin isinya seperti itu atau kurang lebih aku berbicara seperti itu. Aku tidak ingat. Yang ku tahu aku berbicara di makam itu dan tak ada yang bisa ku lakukan selain melampiaskan emosi ku. Setidaknya amarah yang selama ini bertumpuk di dada ku, keluar begitu saja.

Amarah tentang kematian Sebastian yang tak bisa ku sembunyikan lagi. Karena aku sudah tahu, dia membohongi ku selama ini.

Malam dimana aku menemukan kertas di tong sampah itu, adalah malam permulaan pertengkaran kami.

'Kamu gak bilang sama aku? Jahat kamu, Bas!'

'Itu bohongan, sayang... Gak ada apa-apa...'

'Gak ada apa-apa katamu!? Terus ini nama siapa!? Nama siapa!? Bukan nama kamu!? Bukan nama suami aku!? Kamu suami aku kan!? Kamu kan yang namanya Sebastian!? Kamu Sebastian kan, Bas!? Ya kan, Bas!?'

Saat itu Sebastian lunglai. Wajahnya berubah kaku. Mungkin dia syok aku mendapati kertas itu. Tapi itu harusnya aku! Akulah yang syok mendapat kertas itu! Aku yang sangat syok!

'Kamu bakal ngilang aja!? Gak mau tahu hidup aku sama anak kamu setelah itu!?'

'Mell, jangan teriak-teriak, kamu gak boleh marah-marah gitu, Mell.'

'Kamu jawab dong, Bas!? Ini hasil diagnosa siapa!? Kok pake istilah life planned-life planned segala!? Memangnya mereka Tuhan!? Memangnya kamu sakit keras!? Ha!?'

'Ingat kondisi kamu lagi hamil, sayang... Kasih ke aku dulu kertasnya biar aku lihat...'

Kertas-kertas tolol itu adalah bukti pertama dan final tentang masa depan ku dan Sebastian kelak.

Aku segera pusing, mungkin tekanan darah ku meningkat. Amarah yang meledak saat itu seolah kumpulan segenap kebencian ku pada takdir.

Semuanya memang penuh teka-teki.

Tapi kematian adalah kepastian, kan?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 12, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Prime ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang