01. Sepotong Kehidupan

3K 209 7
                                    

Bunga berguguran mengenai permukaan bumi tepat di bawah akarnya yang tertanam. Ada yang sudah layu, tak sedikit pula yang masih segar tertiup angin dan dipaksa jatuh karenanya. Berwarna putih bersih, dasar warna yang selalu disebut-sebut sebagai simbol kesucian atas sifat anak manusia. Kamelia adalah nama bunga cantik yang bermekaran di sepanjang trotoar jalan dan berguguran setiap hari. Di suatu tempat, beberapa meter dari letak belasan pohon indah itu, ada sebuah rumah bercat abu-abu dua tingkat. Jendela atasnya terbuka lebar, beberapa kelopak bunga memasuki leluasa dan mengenai seorang makhluk hidup yang tertidur pulas di dalamnya.

Lagi, pria muda bertelanjang dada itu dibangunkan oleh lembutnya kepingan bunga yang terbang tak disengaja. Kedua mata terbuka, menyingkirkan sekeping bunga dari atas pipi yang memberikan reaksi gatal sampai jemari spontan menggaruk. Bangkit sedikit lesu, jarinya menekan sebuah tape di atas meja sebelah ranjang dan suara rekaman langsung terdengar dari sana.

"Selamat pagi, anakku. Hari ini sebelum berangkat ke sekolah, jangan lupa sarapan yang cukup...."

Kakinya melangkah memasuki kamar mandi dengan sehelai handuk kecil di pundak. Suara wanita paruh baya dari tape masih dapat terdengar karena pintu yang sengaja dibiarkan terbuka, mendengarkan dengan seksama sembari menggosok gigi.

"Tolong tingkatkan nilai-nilai kamu, jangan berbuat nakal di sekolah...."

Kali ini suaranya terdengar samar akibat keran air yang dinyalakan kencang. Membasuh wajah asal, pria muda itu lantas menggosoknya menggunakan handuk merah sampai kering. Setelah keran dimatikan, tape di samping ranjangnya juga ikut berhenti. Rekamannya habis, hanya beberapa kalimat singkat terputar, tetapi berhasil membuat sang pendengar termenung sejenak di kamar mandi bersama sisa tetesan air dari keran yang tak tertutup sempurna.

Jakarta, Indonesia.

Hari ini adalah awal tahun ajaran kedua di Sekolah Menengah Atas. Sambil berjalan ke tempat tujuan, tangannya melesak di saku dengan kepala menunduk mengamati jalan. Telinganya menangkap berbagai macam suara, dari mulai obrolan pedagang kaki lima sampai klakson mobil yang berlalu lalang disebelahnya. Dari belakang samar terdengar keributan, dapat dirasakan dari aspal yang sedikit bergetar jika jumlah orang di sana ada begitu banyak berdesakan. Remaja yang tengah berjalan santai itu terusik, lalu menoleh cukup penasaran pada suara bising sepeda motor yang digas keras-keras.

Para pedagang mengunci kembali kedainya, mengamankan diri ke beberapa restoran yang baru saja buka. Dari arah perempatan, sekelompok pemuda berpakaian berandal berlarian membawa sepeda motor dan senjata tajam. Seketika jalanan macet total, tetapi sekumpulan geng tersebut tetap memaksakan menguasai jalanan sampai menyelinap diantara mobil mewah hingga banyak yang terkena imbasnya. Spion beberapa mobil terlepas, bodi mobil terkelupas karena tendangan nakal atau pun goresan dari senjata tajam. Tak ada seorang pun sopir yang berani keluar untuk sekadar protes, melawan sekumpulan geng motor hanya akan membawa lebih banyak masalah.

Saat remaja itu masih mengamati situasi, tiba-tiba dasi hitamnya ditarik paksa oleh seorang remaja berambut sedikit gondrong. "Heh, lo lihat cowok yang rambutnya diikat setengah, gak?" tanyanya dengan nada preman.

Yang diperlakukan kasar hanya menggeleng, tanda tidak tahu. Tak terima dengan jawaban tersebut, berandal itu mendorong sang korban. Tidak ada siapa pun disekitar, semua sudah menyelamatkan diri menjauh dari sekumpulan orang liar itu. Remaja malang yang terjebak di bawah kaki berandalan, mengembuskan napas berusaha tenang.

"Dia pakai kalung silver, kaus oranye. Lihat, gak?!" tanyanya sekali lagi.

Kembali yang tersungkur di aspal menggeleng tanpa takut-takutnya diperlakukan lebih buruk lagi. Remaja gondrong itu jongkok agar selaras, meneliti name tag yang dipakai pemuda di depannya. "Eric Edward," bacanya.

UNRAVEL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang