Kedua pelipisnya semakin nyeri, berdenyut tajam setiap kali pikiran berusaha menyusup lebih dalam memasuki kenangan. Suara sepatu tinggi dari perawat yang berlalu-lalang di hadapannya, seolah mencegah Malik untuk mengingat masa-masa itu. Ia tidak fokus, duduk berpura-pura tenang dalam kekhawatiran yang mencekik hatinya. Selain Eric, seseorang yang belakangan mencuri perhatiannya juga jatuh kritis. Tak dapat dipungkiri, Malik berani bertaruh apa pun agar keduanya dapat diselamatkan."Kakak sendiri, kan, orang yang membiarkan ibu meninggal di rumah sakit."
Matanya buru-buru terbuka. Tak ingin dihantui bayangan remaja berseragam SMA yang selalu muncul setiap matanya tertutup. Tubuh tegap dengan punggung lebar itu, membelakangi Malik dengan kepala menoleh ke samping. Tatapan tajamnya begitu sadis, seolah tak sudi menatap ke arah Malik.
Tempat ini memuakkan, rasanya tak ingin berada lebih lama lagi di sini. Dengan terpaksa, tubuhnya berdiri lemas, melirik sesaat ruang IGD yang di dalamnya entah sedang separah apa. Yang pasti, Malik berharap seseorang yang dianggap memiliki 'jiwanya', dapat segera pulih.
Di lorong yang sepi, Malik memanfaatkannya untuk menghisap sebatang rokok. Rasanya, sudah beberapa waktu tidak merasakan manis dari tembakau kesukaannya. Sambil berjalan menunduk, Malik berpapasan dengan seorang perawat yang tampak terburu-buru.
"Dilarang merokok, Tuan," ucapnya memberi peringatan. Tak berlangsung lama, karena perawat itu terus melaju untuk melaksanakan tugasnya.
Malik mengangguk, tetapi tak mematikan rokoknya karena ternyata telah tiba di luar. Menatap orang yang sedang menuntun kendaraan agar terparkir rapi, sepertinya lebih menyenangkan daripada berada di dalam sana. Tempat yang sudah ia musuhi sejak dua tahun yang lalu. Malik bersandar ke tembok, berada di dekat tempat sampah agar memudahkannya membuang rokok.
Tatapan Malik terkunci kepada seseorang yang baru saja menaiki lobi. Remaja dengan pakaian kasual, mengenakan topi merah sambil membawa sesuatu di tangannya. Merasa sedang diperhatikan, anak muda itu balik menatap Malik dan langkahnya melambat.
"Kebetulan sekali. Kamu anak SMA Trinity, kan?" tanya Malik ketika keduanya mulai dekat.
"Selamat Siang, Pak." Anak itu mendekat, mengulurkan tangan dan memberi salam.
"Kalau tidak salah...."
"Cakra, saya kelas XI IPS 2." Cakra memotong ucapan guru BK itu, membuat Malik diam tidak melanjutkan ucapannya. "Omong-omong, apa yang bapak lakukan di sini? Apa keluarga bapak ada yang meninggal?" tanya Cakra.
Malik tersenyum kecut. "Tidak, saya sedang mengantar kedua anak didik saya yang terluka parah."
"Malam-malam begini? Siapa?" tanya Cakra lagi.
"Sparta dan Eric."
"A-apa?!"
"Sebaiknya kita di dalam, angin terlalu kencang di sini." Malik mematikan rokoknya, meloloskan batang kecil itu memasuki tong sampah.
Mereka berjalan beriringan memasuki rumah sakit.
"Kenapa mereka bisa masuk rumah sakit jam segini?" Kening Cakra berkerut, duduk di samping Malik tepat di hadapan pintu IGD. "Bahkan masuk IGD?!" Cakra dibuat semakin terkejut.
Sebuah kebetulan yang Cakra rasa memuakkan. Ia tidak suka berada di sini, apalagi permasalahannya dengan Eric dan Sparta belum selesai dan masih ingat jelas bagaimana mereka berencana merusak mimpinya.
"Kamu sendiri sedang apa di sini, Cakra?" Giliran Malik yang bertanya.
"A-Saya harus menemui saudara, dia juga dirawat karena tipus," jawabnya grogi.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNRAVEL [TAMAT]
Fiksi Remaja[ Boy X Boy CONTENT! ] [ SELESAI PART LENGKAP ] Sparta Lewis, bocah sepuluh tahun yang diperkosa Ayah temannya, lalu membunuh pelaku atas dasar dendam. Gara-gara itu, rantai dendam berlanjut pada Victor Neptunus (teman Sparta) dan merubah kehidupan...