76. Janji dan Bahaya

115 20 6
                                    

"Jadi lo di sini."

Kepalanya menoleh, mendapati cowok yang baru saja menguasai pikiran berdiri di daun pintu. Rambut Sparta bertiup lebih kencang, berasa semakin sejuk saat kedua mata juga sibuk memandangi cowok itu. Eric berjalan memupus jarak, terlena untuk menatap mata indah Sparta lebih dekat. Waktu semakin melaju, hingga tak berasa matahari telah bersembunyi di sisi Bumi yang lain. Sempat sesaat Eric tertidur, tetapi beratnya pikiran telah membangunkannya di tengah malam. Naluri langsung meyakini jika Sparta berada di atap ini. Sebuah tempat nyaman yang memaparkan keindahan alam dengan kentara.

Kedua tangan Eric saling mengusap, merasakan dingin menusuk kian mendalam. Hari kedua mereka berada di sini, rasanya sudah membuat Eric tidak nyaman. Milenio adalah orang asing, lalu mereka dengan percaya diri meminta pertolongan untuk tinggal. Seandainya ada cara, keduanya ingin permasalahan dengan Victor segera selesai dan meninggalkan tempat yang terlalu nyaman ini.

Bersama permasalahan itu, mereka terpaksa bolos dari sekolah karena seragam keduanya berada di rumah yang tak lagi aman.

"Bang Ram belum kembali, udah cukup lama." Eric berpegangan pada besi pembatas yang dingin, memandang resah parkiran mobil Milenio yang berada di bawahnya.

"Lo udah larang dia pergi, tapi dia tetap pergi. Resiko, kan?"

"Jadi lo gak khawatir sama bang Ram?" Eric melirik galak, tak nyaman mendengar sahutan Sparta.

"Gue gak bilang gitu."

Pintu di belakang mereka tiba-tiba terbuka, melunturkan tatapan saling kecewa pada keduanya. Sofia tersenyum merasa kecanggungan belum selesai, lalu izin pergi untuk menjemput Milenio yang belum pulang sejak pagi dari studio.

"Kalau ada apa-apa hubungi gue," katanya seraya menyerahkan selembar kertas dengan nomor teleponnya.

"Kita gak punya hape," sahut Sparta.

Sofia terkejut sesaat, cukup membingungkan pada zaman ini dua orang remaja tidak memilikinya. Lalu, gadis itu menyerahkan sebuah ponsel untuk mereka.

"Pegang itu, di sana ada nomor hape cadangan yang gue pegang nanti."

Setelahnya, dia pergi terburu-buru meninggalkan atap.

"Dia baik." Eric meneliti ponsel di tangannya, memeriksa kontak dan menemukan nomor dengan nama Aku 2, diduga nomor cadangan yang Sofia maksud.

Sparta menghela napas dalam, membiarkan angin menenangkan pikirannya. Pandangan berubah teduh, melirik penuh arti pada cowok disebelahnya. Eric balas melirik, mengerutkan dahi atas tatapan yang tak dapat dipahami.

"Ada apa?" tanyanya.

"Besok tanggal 14, kan?"

Eric tersenyum. "Lo ada janji kan sama gue? Soal seks--"

"Jangan bicarakan itu." Sparta mengusap wajahnya malu.

"Apa lo udah menyiapkan hadiah yang lain?" Tampak yang akan berulang tahun berusaha menggoda, ada tatapan penuh maksud di matanya.

Sparta semakin malu, justru tangannya refleks mengusap rambut Eric. "Gue bingung, hadiah apa yang bisa melebihi keindahan lo," sahutnya.

Saat keduanya sibuk saling menggoda, lagi-lagi pintu atap terbuka bersama kemunculan Milenio dengan wajah kusut. Ditunjuknya mereka berdua sambil tangan yang lain mengepal, kepalanya panas luar biasa walaupun angin menerpa begitu kencang.

"Woi! Kalau habis cuci tangan di wastafel matiin lagi airnya! Lampu kamar sama TV juga nyala. Lo berdua gak bakal ikut bayar listrik sama air gue, kan?!"

"Tamu kok dimarahi," ucap Sparta enteng, alisnya berkerut tidak senang karena lagi-lagi momennya terganggu.

"Sparta...." Eric mengusap bahunya, bermaksud menyadarkan sang kekasih bahwa mereka wajar dimarahi.

UNRAVEL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang