90. Without You (Day 2)

60 7 1
                                    

Dalam penglihatannya yang tak secerah kala berjalan bersama Eric, Sparta menatap seseorang yang ia kenal tengah berjalan dikerumuni pria berbadan tinggi. Seorang gadis rupawan, berambut pirang dan mengenakan heels merah tua. Gadis itu berjalan anggun menuju sebuah mobil hitam berjarak sekitar 10 meter darinya. Sementara Sparta berdiri di trotoar tak jauh dari sana, hatinya merasa lega melihat keanggunan itu, seperti sungguh dunia sudah berjalan begitu jauh.

Saat ini pagi-pagi sekali, bahkan Sparta mengenakan seragam dan dalam perjalanan menuju sekolah. Sesuai dugaannya, gadis cantik itu menoleh dengan wajah sumringah, sangat kenal dengan Sparta begitupula sebaliknya. Gadis berjaket merah dengan syal putih, mendekat ke arah Sparta sembari melambai-lambaikan tangan.

"Sparta!" serunya tersenyum lebar.

Sparta balas tersenyum, mereka lalu berakhir di sebuah kafe 24 jam dekat lampu merah. "Gak buru-buru, kan? Minum kopi dulu sebentar," katanya.

Pelayan menaruh dua cangkir kopi panas, Sparta menggeleng merasa baik-baik saja. "Dua puluh menit aja gak masalah."

"Syukurlah. Gimana kabar kamu?" tanya gadis itu, memegang nyaman telinga cangkir di tangan putihnya.

"Baik. Lo gimana? Rilis albumnya lancar, Mandarin?"

"Hm. Semuanya lancar! Itu berkat dukungan Papa, yang syukurnya membebaskan aku sekarang," jawabnya girang.

Sparta tersenyum, sungguh bahagia mendengarnya. Mandarin tampak berbeda dari terakhir kali mereka bertemu, matanya terlihat berbinar penuh warna dan terlepas dari tekanan.

"Gak tahu Papa kerasukan apa, tapi semenjak dia ketemu kamu di gerbang sekolah waktu itu, Papa banyak diam dan kelihatan mikirin sesuatu. Lalu, dia tanya apa aku mau ikut audisi New Star." Mandarin menjelaskan.

"Semua orang bisa berubah, apalagi papa lo. Beliau kelihatan sayang sama lo, meskipun dulu caranya sedikit berbeda."

Mandarin tertawa. "Sejak kapan kamu pinter ngomong?"

Sparta hanya tersenyum tipis.

"Sparta...."

"Ya?"

"Aku lihat di berita, soal Eric ... maaf, apa dia baik-baik aja?"

"Jangan canggung gitu. Dia baru selesai di operasi semalam, tapi kondisinya belum bisa dipastikan," jawab Sparta santai, ia tak masalah membahas hal ini meskipun Mandarin merasa topiknya sensitif.

"Maaf, aku dulu mengatai Eric. Aku... aku sama sekali gak benci dia, Sparta."

"Yang lalu biarin aja, jangan diungkit lagi. Gue tahu lo orang baik."

Mandarin menyesap kopinya. "Kapan-kapan aku pasti ke sana, aku mau menengok Eric setelah jadwal aku selesai."

Sparta menoleh jam dinding kafe, lalu berdiri terburu-buru. "Ah, gue harus pergi ke sekolah."

Mandarin melakukan hal sama. "Hati-hati."

"Thanks. Besok, gue denger lagunya, Mandarin."

"Janji?" Gadis itu mengacungkan jari kelingking, Sparta menautkan jari kelingkingnya.

"Janji."

Begitulah cara mereka bertemu dan berpisah kembali. Saat Sparta melangkah keluar kafe dan melanjutkan perjalanan, Mandarin kembali duduk dan tersenyum, memegang kembali cangkir kopi yang masih tersisa setengah. Ia tatap jendela yang mulai menampakan matahari naik, membangun suasana penuh rindu dan kenyamanan.

"Aku... udah sepenuhnya gak mencintai Sparta. Ternyata semudah ini merasa ikhlas soal dia, kita emang lebih cocok menjadi teman. Semoga bahagia, Sparta."

UNRAVEL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang