Sparta membuka pintu dihadapannya, cukup kencang dan menimbulkan suara hingga dua orang di dalam ruangan tersebut menatap. Seorang perawat yang sedang menyimpan makanan ke meja, serta Eric yang tengah terbaring lemah dengan pakaian biru telur asin yang diberikan pihak rumah sakit. Sparta masuk, Januar dan Cakra menyusul tiba dengan napas kelelahan. Mereka berusaha mengimbangi langkah cepat Sparta yang cemas sejak keluar dari gerbang sekolah."T-tunggu dulu, jangan sembarangan masuk. Kalian siapa?" tanya perawat, bermaksud menegur sikap tidak sopan yang Sparta tunjukan.
"Eric, gimana keadaan lo?" Sparta mengabaikan perawat itu, mendekati Eric dan meraba keningnya.
"Gue bukan demam, Sparta." Eric menyahut dengan senyuman, merasa lucu dengan tingkah kikuk temannya.
"Pasien sedang istirahat, tolong jangan mengganggunya untuk sementara waktu," tegur perawat itu lagi.
"Kata dokter yang kebetulan mengurus Eric, dia sudah bisa dijenguk," ujar Sparta, memaparkan apa yang yang dikatakan dokter sesaat sebelum mereka tiba di sini.
Perawat itu menunduk, merasa malu dengan ucapannya. Dia kemudian pergi meninggalkan ruangan, membiarkan ketiga teman dari pasien berada di sana. Cakra dan Januar terkejut dengan kondisi Eric yang memprihatikan, tubuhnya 70% terluka. Banyak perban menutupi tubuh, bahkan wajahnya membengkak dan nyaris tak dikenali.
"Gak nyangka lo terluka separah ini." Cakra bersuara, masih berdiri di depan pintu seolah canggung untuk masuk lebih dalam.
"Cuman sedikit. Kaki kanan gue patah, tapi sudah mendingan setelah diobati. Yang parah mungkin sikut, ini rasanya kayak remuk," jelas Eric dengan tawa di sela-sela kalimatnya.
"Apanya yang sedikit?" Sparta menunduk, memegang tangan kiri Eric dan langsung meresponnya dengan suara desis kesakitan.
"Bagian itu juga terluka," kata Eric.
Gigi Sparta menggertak emosi, raut wajahnya tiba-tiba memerah, bahkan aura sekitar mendadak menegangkan entah mengapa. Kondisi perasaannya tak stabil, dalam hati mengingkari ucapan Eric yang dengan mudahnya berkata bahwa luka itu hanya sedikit. Padahal kenyataan yang terlihat tidak begitu.
"Maaf, Eric. Ini semua salah gue," ucapnya, semakin tak berani mengangkat kepala.
"Bukan, Sparta. Gue yang salah karena ikut campur tapi malah jadi beban. Gue juga salah karena gak bisa membela di--"
"GUE YANG SALAH!" Sparta menarik baju Eric tepat di bagian dadanya, menatap tajam wajah pucat pasi itu sampai membuatnya semakin putih.
"Apa lo gila menyalahkan diri sendiri atas kesalahan yang gak lo perbuat? Apa gue selalu benar di mata lo? apa lo selama ini buta dan gak melihat sisi iblis gue, bahkan untuk kali ini?!" Sparta mengguncang tubuh tak berdaya Eric, bantal yang menjadi sandaran punggungnya sampai terjatuh ke lantai dan mengenai piring di meja hingga terjun ke lantai.
Suara pecahannya terdengar nyaring ke seluruh ruangan. Makanan yang seharusnya Eric makan, telah berakhir menjadi santapan kuman-kuman di lantai. Cakra menarik Sparta, membuatnya terpaksa melepaskan tangan dari baju Eric dan menyudahi emosinya. Sparta berontak, mendorong Cakra sampai terbentur tembok lalu pergi begitu saja.
"Sparta kenapa, sih? Marah-marah sama orang sakit?" Januar bertanya takut-takut, hanya berani diam dan menyaksikan kejadian barusan.
"Eric, lo baik-baik aja?" Cakra bertanya, mengambil bantal dari lantai dan membenahi ranjang agar Eric terbaring nyaman kembali.
"Jangan pedulikan gue, yang terpenting sekarang Sparta. Dia sedang sensitif, gue mohon temui dia."
"Temui Sparta?" Cakra terkejut, rada rasa tidak ingin menyelinap dalam dada karena tak sanggup menghadapi orang arogan sepertinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNRAVEL [TAMAT]
Teen Fiction[ Boy X Boy CONTENT! ] [ SELESAI PART LENGKAP ] Sparta Lewis, bocah sepuluh tahun yang diperkosa Ayah temannya, lalu membunuh pelaku atas dasar dendam. Gara-gara itu, rantai dendam berlanjut pada Victor Neptunus (teman Sparta) dan merubah kehidupan...