"Eric, p-pergi dari sini!" Bibir gemetar Sparta berujar lirih, seolah melarang keras sahabatnya mendekat.
Dengan kedua mata melotot dan mulut terbuka, kaki Eric justru mendekat. Di ujung penglihatannya, terlihat Sparta yang tidak berdaya. Sebuah pisau menancap di perutnya dan memberikan ruang untuk darah mengalir bebas. Sparta mengerang kencang, semakin membuka celah untuk darah mengalir dari lubang di perutnya. Dalam kecemasan, Eric terus melangkah terseok-seok. Tatapan matanya berkunang-kunang, sosok Sparta yang tidak berdaya mulai hilang dari pandangan.
"JANGAN MENDEKAT!" Sparta berteriak, kemudian Eric pun terperanjat.
Tubuhnya jatuh bersama sebuah kursi yang tengah diduduki. Kedua tangan terikat pada benda tersebut, mutlak tak bisa melakukan apa pun selain bernapas. Debu-debu di lantai mengotori seragam, mereka juga bertebaran di udara hingga membuat Eric batuk-batuk. Sebagian dirinya merasa berada dalam mimpi sekilas itu, sebuah mimpi buruk ketika melihat Sparta terbaring di sebuah meja dengan kondisi hampir mati.
"Ini ... di mana?" Eric seperti bertanya kepada benda-benda bertumpuk disekitarnya, tak ada satu pun yang menjawab.
Cahaya lurus dari ventilasi udara menyinari langsung tubuhnya, menjadi satu-satunya cahaya di ruangan pengap ini. Kedua tangan Eric berontak, berusaha melepaskan diri dari lilitan tali tambang yang mengekang pergerakannya. Merasa lemas, usaha tersebut menjadi sia-sia. Meskipun begitu, rasa panik dan ketakutan akan kegelapan, membuatnya tak ingin menyerah dan terus bergerak untuk membebaskan diri.
Suara kunci yang terdengar dari satu-satunya pintu, membuat gerakan Eric terhenti. Suara dari luar terdengar seperti sebuah rantai yang melepaskan diri dari gembok, serta kunci manual yang berderit, membuat Eric sadar jika penguncian tersebut sangat aman dan berlapis-lapis. Ketika pintu terbuka, tikus-tikus segera berlarian keluar ruangan untuk mencari kebebasan.
Seseorang memasuki ruangan, sosok yang beberapa waktu lalu membawanya secara paksa ke dalam mobil. Eric juga sangat ingat ketika tiba-tiba mobil dipenuhi gas tidur dan membuatnya pingsan. Sang pelaku dengan sangat menyebalkan mengenakan masker anti gas untuk dirinya sendiri.
"Sebenarnya lo siapa?" Eric bertanya tak suka, kedua alisnya sampai berkerut.
"Apa harus kenalan lagi?" Victor jongkok di depan Eric, menatapnya dengan kesan meledek.
"Kurang ajar. Lepasin gue!" teriak Eric.
Victor menatapnya tajam, menendang Eric bersama dengan kursi tersebut hingga menjatuhkan kardus-kardus di ujung ruangan. Eric meringis, tendangannya begitu kuat hingga membuat perutnya berdenyut.
"Meskipun kita seumuran, gue gak suka kalau seekor lalat bicara seenaknya."
"Apa musuh Sparta sekuat ini?" Eric bertanya dalam hati, menatap sosok yang katanya seumuran tetapi memiliki perawakan yang jauh lebih kekar.
Kursi berguling Eric Victor buat agar berdiri kembali. Eric merasakan satu kaki kursi itu hampir rubuh dan membuatnya tidak nyaman. Beberapa saat lalu, tidak ada tanda-tanda kerusakan pada kaki kursi, tetapi retakan itu muncul ketika Victor menendangnya.
"Sekarang jawab gue, di mana lo menemukan Sparta dan kenapa kalian bisa berteman?"
"Gue gak akan bicara apa pun!" tegas Eric.
"Seberapa dekat lo sama dia?" tanya Victor lagi.
"Gue bilang, kan? Gue gak akan---"
"Jawab gue! Dasar brengsek!" Victor meninju Eric sampai tiga kali, di pukulan terakhir darah keluar dari hidung lelaki malang itu.
Belum puas sampai di sana, kali ini kakinya ikut berperan. Victor menendang kedua tangan dan kakinya bergantian melakukan seolah tak ingin kehilangan kesempatan menyiksa Eric. Sang korban tak berdaya, hanya mampu berteriak dan menerima setiap hantaman yang bertubi-tubi.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNRAVEL [TAMAT]
Teen Fiction[ Boy X Boy CONTENT! ] [ SELESAI PART LENGKAP ] Sparta Lewis, bocah sepuluh tahun yang diperkosa Ayah temannya, lalu membunuh pelaku atas dasar dendam. Gara-gara itu, rantai dendam berlanjut pada Victor Neptunus (teman Sparta) dan merubah kehidupan...