61. FLASHBACK : Sparta itu Berharga

189 28 5
                                    

Seorang remaja keluar dari gerbang sekolah bertuliskan SMP Merah Putih sambil memeluk erat kado yang telah dibuka. Tak begitu rapi karena ulahnya merobek benda itu secara terburu-buru, tak sabar ingin melihat hadiah juara pertama dari lomba lompat jauh. Awan-awan yang cerah menggiringnya melangkah semangat penuh senyuman, melewati gang kecil yang gelap dan sekilas menghapus kecerahan langit.

Tiba-tiba ia mematung, takut saat menatap lorong gang yang gelap. Setelah meneguk ludah berat, remaja itu maju berusaha berani. Beberapa meter dari tempatnya, orang dewasa berdiri memakai jaket ala-ala anak punk dengan aksesoris-aksesoris besi yang mencuat. Rambutnya tidak di sisir seperti punk, hanya model two block dengan tambahan sedikit pewarna merah. Remaja itu tercengang takut, orang dewasa itu menatapnya balik. Sambil menghisap rokok, ia tersenyum penuh maksud.

Remaja itu menyeringai semakin takut, berbalik dan berlari sambil memeluk erat hadiah yang diraihnya dari sekolah. Ketika menatap sekali lagi wajah sangar itu, tercium bahaya yang merajai instingnya. Pemuda dewasa itu membuang rokoknya, berlari mengejar lebih cepat dari target di depannya. Remaja itu berteriak takut, bahkan tanpa sadar hadiahnya dijatuhkan begitu saja.

Remaja itu sampai di tempat proyek yang terdapat pegawai berlalu-lalang, rupanya tengah ada pembangunan apartemen. Ia melewati mereka seperti sebuah pion rintangan dalam video game. Tiba-tiba kakinya tersandung besi berkarat, jatuh di atas sisa-sisa pasir yang dipenuhi kerikil kecil. Remaja itu tak mampu berdiri, ada luka di lututnya yang dia rasa berdarah. Pada detik yang sama, suara teriakan pegawai menggema ke arahnya. Mereka menatap panik dan memperingati untuk pergi dari sana. Secara kebetulan, tak ada satu pun pegawai yang dekat dengannya, mereka berlari secepat mungkin, tetapi di mata remaja itu terasa sangat lambat.

Ketika kepalanya mendongak ke atas, ia menemukan batu besar yang sedang dijepit alat berat terjatuh ke arahnya. Sekilas, kematian terlihat begitu pasti. Namun, tubuhnya didorong kencang dalam pangkuan seseorang yang datang tepat waktu. Detik berikutnya, batu besar itu jatuh dan terpotong menjadi beberapa bagian. Suaranya keras sampai remaja itu menangis dalam takut--membayangkan jika dirinya yang tertimpa.

Remaja itu duduk gemetar di gang sebelumnya. Dingin dari lumut di dinding seakan merayap ke seluruh tubuh, meresap ke dalam aliran darah. Wajahnya memucat, tak dapat dipungkiri ketakutannya sangat berlebihan. Remaja itu berhutang pada sosok asing di sampingnya yang sebelumnya dicurigai. Pria dewasa berpenampilan berandal, tetapi ternyata menyelamatkannya.

"M-makasih," ucapnya dengan air mata mengering.

"Lain kali hati-hati. Anak-anak kenapa pulang sendirian ke tempat bahaya gini?" tanya pria dewasa itu, berkata dengan seutas senyum.

"Terus sama siapa lagi?! Gue gak punya teman," jawabnya sedikit kesal, merasa kesendiriannya disinggung.

Pria itu justru tertawa, meraba kepala anak di sampingnya. "Nama lo siapa?" tanyanya lagi.

"Ramune." Meskipun mencurigakan, bibirnya bergerak sendiri untuk menjawab.

"Tomi, panggil gue Mas Tomi." Pria itu menyerahkan hadiah yang semula Ramune jatuhkan. Tidak tahu kapan, mungkin saat Ramune sibuk ketakutan dan tak sadar dengan hal itu.

"Gue kira lo mau rampok gue," katanya.

"Emangnya apa yang bisa diambil dari anak SMP?" Tomi bertanya, ada nada ejekan di dalamnya.

"Hadiah ini!" Ramune malu-malu, menunjukkan mobil remote hadiahnya pada Tomi.

Tomi malah semakin tergelak. "Orang dewasa gak main itu, Ram!"

"Panggil gue Mas Ram!"

"Ha? Umur lo aja dibawah gue." Tomi masih tertawa.

"Nanti, nanti kalau udah SMA, sekarang gue kelas tiga!" Ramune kesal setengah mati, tidak tahu apa yang sejak tadi pria ini tertawakan, tetapi sifatnya cukup menjengkelkan.

UNRAVEL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang