50. Dua Cangkir Kopi

253 36 27
                                    


       Pelan-pelan tangannya menurunkan beberapa produk yang sudah kedaluwarsa dengan bibir menggerutu, mengutuk agen penjual makanan yang menipunya. Karena ternyata, makanan tersebut sudah tidak layak konsumsi. Barang yang masih berantakan, menjadi pusat perhatian Sparta. Rasanya tidak nyaman, menyaksikan pemula sedang bersih-bersih dengan cara acak. Belum selesai satu rak, tangannya justru bergerak ke rak yang lain.

Perkataan sebelumnya yang mengaku-aku pemilik, membuat Sparta ragu menerimanya. Setelah berdiri beberapa menit diambang pintu, Sparta berbalik tergesa. Kepalanya masih menoleh ke dalam minimarket, menatap penasaran punggung lelaki yang diduga seusianya. Sparta menatap lurus, mengalihkan pandangan dari lelaki itu dan sepenuhnya membelakangi minimarket.

Seseorang berdiri di depannya, berhasil membuat seluruh jiwanya gentar. Bahkan, kedua kaki yang bersiap melangkah seketika membeku. Eric menatap tak kalah terkejut, pandangan mereka saling mengunci dalam diam. Jas almamater yang dikenakan keduanya, tiba-tiba memberikan efek gerah luar biasa.

"Minimarket baru, di sini ada lowongan kerja." Sparta membuka pembicaraan, tahu benar kalau dalam pertemuan terakhir Eric terlihat marah padanya.

Lelaki yang berada di dalam minimarket, berjalan mendekat dengan keringat membanjiri seragam. "Selamat datang, ada yang bisa dibantu?"

Ekspresinya tampak girang, tak mempedulikan aura mencekam diantara mereka. Baginya, menyambut pelanggan dengan senyum ramah adalah hal yang wajib. Walaupun Eric mendapatkan bonus, yaitu disambut dengan senyuman penuh keringat bercucuran dan mengeluarkan aroma kurang sedap.

"Ah- itu, dia teman gue yang mau kerja di sini," ucap Sparta, menarik lengan Eric lebih mendekat.

"Hm?" Lelaki itu menaruh lengan di dagu, meneliti penampilan Eric yang lebih pendek darinya.

"Namanya Eric, dia satu kelas dan satu rumah sama gue." Sparta melanjutkan, khawatir lelaki itu menolak karena ekspresinya terlihat meragukan.

"Dia di bagian kasir, dan lo di bagian gudang. Besok, kalian bisa langsung masuk."

Eric mendapatkan bagian kasir, sementara Sparta gudang. Telunjuk lelaki itu menjelaskan semuanya, menimbang hal itu melalui perawakan mereka yang terlihat berbeda dari segi kekuatan.

Eric terkejut, langsung diterima begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata pun sungguh mengerikan. "Diterima? Apa gak masalah tanpa persetujuan bos lo dulu?" tanyanya.

"Karena gue bosnya." Lelaki itu tertawa, menunjuk dirinya sendiri dengan jempol.

Eric kehabisan nafsu bicara, menatap penampilan kumal itu saja sudah membuatnya ragu setengah mati. Apalagi, seragam yang membalut tubuh basah itu, menunjukkan jelas jika dia seorang pelajar. Sparta diam-diam melirik, memandang Eric yang dia tebak marah padanya karena kejadian tadi. Tangannya terulur, hendak memegang lengan Eric yang bebas.

"Nama gue Ramune Ravealo, kelas tiga di SMA Bimasakti. Kalian bisa panggil gue bang Ram. Masih kelas dua, kan?" tanyanya, memperkenal diri dengan lantang.

"Kenapa bisa tahu?" tanya Sparta, mengurungkan niat memegang tangan Eric.

"Karena media itu serba tahu, kan? Gue lihat beberapa kali wajah kalian," jawabnya.

"Soal itu lagi, ya." Sparta mengembuskan napas tak heran, mengingat kembali sebelumnya dia ditolak bekerja karena masalah itu. "Kenapa lo terima gue padahal tahu kejadian itu?" tanyanya lagi.

"Ada orang kuat, minimarket pasti aman dari bahaya. Terus, orang tampan!" Ramune menunjuk Eric. "Pelanggan akan sering berkunjung," lanjutnya.

Eric terkekeh pelan, bukan karena sesuatu yang lucu, melainkan merasa lega karena ada seseorang yang bisa memandang Sparta berbeda. Bukan sebagai orang berbahaya, tetapi orang kuat yang bisa diandalkan.

UNRAVEL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang