Sparta menimbang lama, pada pilihan antara datang dan tidak ke tempat bergerbang tinggi di depannya. Pilihan pertama menjadi keputusannya begitu saja, yakin tak bisa hidup tenang sebelum mendatangi orang itu untuk pertama dan terakhir kali. Langkah besarnya bergegas masuk, seseorang menuntun Sparta memasuki sebuah ruangan dengan satu kursi dan mic kecil di depan kaca.
Tempat itu gelap dan pengap, tempat yang tak sudi Sparta tinggali walaupun hanya sehari. Dalam pencahayaan yang minim, seseorang muncul dari ruangan lain dengan pakaian oren dan wajah kusam. Mereka ditinggalkan berdua, berhadap-hadapan dengan kaca sebagai pembatas. Satu-satunya alat komunikasi mereka adalah mic kecil yang tampak menunggu sepatah kata.
"Apa sekarang lo puas, Januar?" Sparta bertanya, meredam beberapa amarah agar tak meledak-ledak, dia sudah lelah dengan itu.
Januar bersandar di kursi hitam, kedua tangan kurus ia taruh di atas pangkuan. Seperti bukan dirinya jika dilihat sekilas, tatapan mata dan auranya berubah drastis. Tampak keputusasaan menyelimuti gerakan kikuk Januar, tak ada rencana meminta bantuan pengacara mengingat betapa terbatasnya keadaan cowok itu.
"Menurut lo?" Januar berkata dengan gelagat tak dapat ditebak, tak mengelak Sparta semakin jengkel.
"Kenapa lo menembak Eric?" Sparta bertanya langsung pada poinnya.
"Karena Eric yang menghancurkan kehidupan gue. Kalau dia gak mendukung perselingkuhan pelacur itu sama papa gue, mungkin amarah yang menghantui gue gak akan pernah ada."
Januar menyeringai bersama semburan napas jengkel. "Kalau yang datang sekarang itu Eric, gue yang bakal tanya, kenapa dia mau papa gue? Padahal dia tahu pacar ibunya udah menikah," lanjutnya.
Sparta diam memperhatikan tatapan Januar yang kini berubah sendu.
"Kalau Eric dan pelacur itu gak datang dan merusak keluarga gue, mungkin papa dan ibu gak akan gantung diri. Gila, kan? Karena dahsyatnya kecantikan pelacur itu, sampai bisa memeras habis harta papa dan gue gak dapat apa-apa...."
"....Di mata lo, Eric terlihat kayak malaikat tanpa dosa, bahkan di mata semua orang. Tapi bagi gue, dia lebih buruk daripada iblis mana pun...."
"....Waktu gue dibawa ke rumah bibi dan Aidit, gue gak bisa apa-apa dan menurut masuk ke SMP pilihan bibi. Tapi dibalik itu, gue selalu cari tahu di mana Eric dan akhirnya ketemu di mana dia sekolah SMA. Gue pindah ke sana bukan tanpa alasan, tapi buat membunuhnya detik itu juga."
Tak ada kebohongan di mata Januar, kelembutan yang sebelum malam itu terlihat kini menghilang.
"Tapi gue salah perhitungan, ada orang kuat yang selalu dekat-dekat sama Eric, yaitu lo. Gue selalu mencari celah kapan lo gak bersama sama Eric, tapi rasanya sulit. Sampai waktu Cakra ikut lomba voli, gue punya kesempatan. Eric sendirian di sekolah, dan gue berhasil mencelakai dia."
Sparta melotot sempurna. "Jangan bilang...."
"Gue, Sparta. Gue yang mendorong Eric jatuh ke kolam waktu itu," kata Januar jelas.
Kisah indah ketika Januar menceritakan bahwa Gusvano adalah pelaku yang mencelakai Eric, kini berubah skenario. Pelaku sesungguhnya mengatakan fakta yang disembunyikan rapi-rapi. Saat Januar berlari setengah mati mengejar Gusvano ke gerbang sekolah dan bertemu Gibran, ia ceritakan semuanya pada Sparta.
"Berhenti!" teriak Januar.
Gusvano menoleh, menggugurkan niatnya membuka pintu mobil. "Berani juga kamu, bocah."
"Gue mau lo ngaku!" seru Januar, mengulurkan jaket hitam, kacamata dan masker di lengannya.
"Orang bodoh mana yang mau?" tanya Gusvano remeh, melihat tangan gemetar itu tanpa takut.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNRAVEL [TAMAT]
Fiksi Remaja[ Boy X Boy CONTENT! ] [ SELESAI PART LENGKAP ] Sparta Lewis, bocah sepuluh tahun yang diperkosa Ayah temannya, lalu membunuh pelaku atas dasar dendam. Gara-gara itu, rantai dendam berlanjut pada Victor Neptunus (teman Sparta) dan merubah kehidupan...