Tangannya menopang pagar besi yang dingin, satu tangannya yang lain memegang perut yang teramat sakit. Tubuh itu telah dihajar habis tanpa ampun, membuat kakinya sempoyongan dan berkali-kali terjatuh. Sparta pikir dia akan mati, tetapi ternyata berhasil bangkit dari tempat itu setelah mendengar suara mobil polisi meraung-raung dari kejauhan. Batuk darah terjadi kesekian kali, sepanjang jalan yang dilalui meninggalkan jejak dengan darah itu. Sekilas, ketika dirinya tak sadarkan diri di bar, bayangan masa lalu mendatangi lagi. Tanpa diminta, kepingan memori bajingan itu tersusun rapi dan muncul seenaknya.
"Lepaskan itu, Sparta. Celananya mengganggu."
"Ke sini, Om ingin melakukannya lagi."
"Lihat apa yang sudah saya bawa untukmu. Kemari dan bayar ini dengan tubuhmu."
"Jangan sedih, ini rumahmu sekarang."
"Rasanya sudah tidak sakit lagi, kan?"
"Ayo, biar om tunjukan yang lebih menyenangkan."
Sparta menyeret kakinya tidak tahu ke mana. Ia hanya mengikuti jalanan yang sunyi, mengarungi kedinginan malam yang tidak mampu membekukan memorinya. Kedua mata melihat apa pun yang ada di sana. Bintang-bintang bertaburan dan lampu gedung yang menyala, hanya untuk sekadar mengalihkan perhatiannya. Pandangan kian buram, kepala menunduk menatap bunga kamelia yang berserakan di atas trotoar. Warna putihnya menenangkan, membuat Sparta terus mengikuti bunga itu dan menuntunnya ke sebuah rumah berwarna abu-abu.
Cowok itu terus menyeret kaki putus asa, bersama rasa hampa tak terbatas atas kepedihan yang dilihatnya di bar Ravalon. Menyaksikan Tomi terkapar tak berdaya di sana, membuat batinnya menjerit hampir mati. Pedihnya, setelah Sparta terbangun tak menemukan jasad Tomi di sana, mungkin Victor membawanya untuk diperlakukan lebih buruk lagi.
Melihat rumah di depannya, menghadirkan kepingan ingatan yang tersisa ketika hidup bersama Victor dan Danu. Sebuah surga semu, yang di dalamnya terdapat banyak sekali rasa sakit yang Sparta rasakan. Sampai suatu kejadian, membuat hari terakhir Sparta berada di sana tiba. Sebuah awal dari perseteruan panjang, dan berlanjut sampai saat ini.
"Lagi-lagi Papa membelikan dia mainan!" teriak Victor, sudah berani protes terang-terangan pada Danu.
Sparta memegang mobil remote yang baru saja diberikan Danu, sambil berdiri di samping papa temannya yang baru saja pulang dari mal. Victor yang tadi tidak ada di rumah karena futsal di sekolah, tidak terima atas ketidakadilan yang menimpanya selama ini. Ia melemparkan vas bunga ke arah Sparta, tetapi Danu berhasil menarik Sparta dari sasaran dan vas itu berakhir pecah ke tembok.
"Anak papa itu gue! Bukan dia!" tegasnya. Victor mendekati Sparta, berusaha merebut mobil mainan itu.
Sparta mempertahankannya, tak ingin menyerahkan hadiah berharga yang selama ini selalu menjadi obsesinya. "Lepaskan, Victor! Ini punya gue," ujar Sparta tak mau mengalah.
"Lo udah tiga belas tahun, kenapa masih mau mainan seperti ini, ha!?"
"Umur kita sama, kenapa lo juga mau mainan ini?" tanya balik Sparta.
Danu mendekat, memegang bahu Victor dan Sparta hingga pertengkaran itu berhenti. "Victor, Papa hanya ingin kamu berhenti bermain futsal. Apa kamu tidak sadar, tidak ada waktu yang bisa kita habiskan bersama?" Danu berusaha memaparkan penjelasan.
"Papa...."
"Berikan mainan itu dan minta maaf sama Sparta. Juga, papa minta kamu intropeksi diri," lanjutnya.
Victor melepaskan mainan itu, menunduk paham. "Maaf, Sparta," katanya tanpa tulus.
Victor lalu berlari menaiki tangga, memasuki kamarnya yang kali ini terpisah dengan Sparta. Danu memegang kedua pundak Sparta. "Kamu pergi mandi, malam ini saya akan ke kamarmu, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
UNRAVEL [TAMAT]
Teen Fiction[ Boy X Boy CONTENT! ] [ SELESAI PART LENGKAP ] Sparta Lewis, bocah sepuluh tahun yang diperkosa Ayah temannya, lalu membunuh pelaku atas dasar dendam. Gara-gara itu, rantai dendam berlanjut pada Victor Neptunus (teman Sparta) dan merubah kehidupan...