Eric membuang kaleng kemasan kopi yang telah kosong, terlambat melemparnya ke tempat sampah walaupun minuman itu telah lama habis. Ekstrak kafein yang terkandung di dalamnya, berhasil mengurangi rasa kantuk yang semula menyerang. Menjaga Ramune yang beberapa kali meringis merasa sakit pada bagian tertentu, membuatnya terbangun berkali-kali dan bergantian tidur dengan Sparta. Memori malam itu cukup melelahkan, sampai membuat matanya kembali sayu. Lalu memori lain yang tergambar selain itu, membuat pipi Eric merona beberapa saat, membayangkan saat duduk bersama Sparta di balkon yang dingin. Juga saat menikmati kecupan hangat dengan durasi lebih lama daripada sebelumnya."Gue bisa gila." Tangannya mengusap wajah yang memanas, berjalan di lorong sewaktu jam istirahat dan tumben-tumbennya berpisah dengan Sparta.
Cowok itu pergi ke ruang BK untuk bertemu Malik, memaksa Eric pergi ke kantin sendirian meskipun Cakra berada di kelas dan seolah menunggu ajakannya. Januar tidak ke sekolah, rupanya masih sibuk menunggu kesembuhan Lolita yang katanya baru dipulangkan pagi tadi. Tak ada seorang pun yang bisa Eric ajak bicara saat ini, hanya berjalan penuh kekosongan lalu berhenti tepat di depan mading dekat lapangan futsal.
Mading itu kini kosong, hanya melekat beberapa sobekan kertas yang semula di lem di sana.
"Poster pecundang itu sekarang sudah hilang."
Suara itu menggoyahkan lamunan Eric, lalu menoleh dengan mengedipkan bulu mata lentiknya. "Pak Hasan?"
"SMA Trinity selesai membalaskan dendam ke SMA Semantika. Poster kekalahan itu sudah tidak diperlukan lagi," katanya dengan tatapan lega.
"Maaf, akhirnya malah Cakra yang bertanding di lapangan." Eric menunduk.
"Kamu waktu itu masih terluka, kan? Sparta bilang seseorang mencelakai kamu," ucap Pak Hasan berusaha mengerti, tak tahu apapun soal pertengkaran Cakra dan Eric dibaliknya.
"I-iya, Pak." Eric kikuk, setengah bahagia atas kemenangan itu dan setengah terluka karena kehilangan kesempatan yang besar.
Waktu itu, dia bergelut dengan pikirannya, merelakan atau tetap egois mengejar mimpinya dengan imbalan kehilangan Cakra. Eric tidak sanggup mengambil keputusan egois, akhirnya memilih merelakan pertandingan untuk mempertahankan pertemanan mereka.
"Tapi berkat itu, Cakra berhasil kalahkan Semantika. Sebenarnya kemampuan dia jauh di atas saya, Pak," lanjutnya dengan tegas.
Pak Hasan tersenyum, kebanggaan itu terlihat di matanya yang sekaligus mengutarakan penyesalan. Sementara dibalik tembok tak jauh dari sana, Cakra diam mendengarkan percakapan mereka dengan raut wajah tak dapat diartikan. Kedua tangannya juga mengepal entah pertanda apa, lalu pergi begitu saja tanpa diketahui Eric dan Pak Hasan. Sambil berjalan dengan balutan jaket denim biru muda, Cakra menggigit habis loli di mulutnya.
"Orang itu terlalu baik, kan? Gue padahal gak pernah baik sama dia," gumamnya, keberatan dengan perkataan Eric yang dirasa berlebihan.
"Ngomong sama siapa?"
"Bangsat!" Cakra tersentak, tubuhnya bergeser ke kanan dan hampir menabrak orang lain yang berpapasan dengannya. "Sparta! Sialan!" Cakra mengatur napasnya, dia masih merasa kaget luar biasa saat tiba-tiba Sparta berdiri di sebelahnya dan mengajak bicara.
"Lo kenapa?" Dia malah bertanya seakan tak bertanggungjawab atas emosi itu.
"Tiba-tiba muncul gitu gak lucu." Cakra kembali netral, menghindari tingkah berlebihan yang tak biasa dia lakukan.
"Gue habis dari ruang BK, kebetulan ketemu lo."
"Cuman lo kan, murid yang dipanggil ke BK buat ngobrol bukan dihukum?"
KAMU SEDANG MEMBACA
UNRAVEL [TAMAT]
Teen Fiction[ Boy X Boy CONTENT! ] [ SELESAI PART LENGKAP ] Sparta Lewis, bocah sepuluh tahun yang diperkosa Ayah temannya, lalu membunuh pelaku atas dasar dendam. Gara-gara itu, rantai dendam berlanjut pada Victor Neptunus (teman Sparta) dan merubah kehidupan...